Minggu, 26 Desember 2010

Bukan Pasar Malam

Dari buku harian Maria, suatu malam, ketika dia tak punya keberanian untuk berjalan-jalan, untuk hidup, atau untuk terus menunggu telepon yang tak pernah berdering..

Sepanjang hari ini kuhabiskan di luar pasar malam. Berhubung aku tidak bisa menghambur-hamburkan uang begitu saja, kupikir sebaiknya aku sekadar memandangi orang-orang. Lama aku berdiri dekat roller-coaster, dan kuperhatikan kebanyakan orang naik wahana itu karena ingin merasakan debar-debarnya, tapi begitu roller-coaster-nya mulai bergerak, mereka ketakutan dan ingin wahana itu berhenti.

Sebenarnya apa yang mereka harapkan? Mereka sudah memilih petualangan itu, jadi seharusnya mereka siap menjalaninya sampai selesai, bukan? Atau mereka pikir orang pintar seharusnya menghindari wahana yang naik-turun seperti itu dan sebaiknya naik kincir raksasa saja yang terus dan terus berputar di situ-situ juga?

Saat ini aku merasa sangat kesepian dan tak bisa berpikir tentang cinta, tapi aku harus percaya bahwa cinta akan datang, bahwa aku akan mendapatkan keberhasilan, dan bahwa aku ada disini karena aku sendiri telah memilih jalan ini. Roller-coaster inilah hidupku; hidup adalah permainan yang berdesing cepat memabukkan; hidup adalah petualangan terjun dengan parasut; berani mendaki hingga puncak; punya keinginan untuk memaksimalkan diri, bisa merasa marah dan tidak puas saat kau gagal melakukannya.

Berat bagiku berada jauh dari keluarga, dari bahasa yang bisa menjadi saranaku mengekspresikan perasaan-perasaan dan emosi-emosiku, tapi mulai saat ini, setiap kali aku merasa tertekan, aku akan ingat pasar malam ini. Seandainya aku tertidur dan sekonyong-konyong mendapati diriku berada di sebuah roller-coaster saat aku terjaga, bagaimana perasaanku?

Yah, aku akan merasa terperangkap dan mual, takut di setiap belokan, ingin turun. Tapi kalau aku percaya bahwa rel-rel itu adalah takdirku dan Tuhan sendiri yang menjaga mesinnya, maka mimpi buruk itu akan berubah menjadi sesuatu yang mendebarkan. Roller-coaster itu sekadar roller-coaster, mainan yang aman dan bisa dipercaya, yang pada akhirnya akan berhenti, tapi sementara dalam perjalanan, aku mesti melihat pemandangan sekitarku dan berseru-seru gembira.

Kamis, 25 November 2010

Tidak Ada Hati Malam Ini

Enam puluh lima tahun setelah kemerdekaan tercapai, kenyataan menunjukkan bahwa kita masih jauh dari tujuan. Kita melihat dengan penuh kecemasan bahwa pimpinan negara dan pemerintahan sekarang ini telah membawa bangsa dan negara Indonesia kepada keadaan yang amat mengkhawatirkan.
Diktator perseorangan dan golongan yang berkuasa bukan lagi merupakan bahaya di ambang pintu, tetapi telah menjadi suatu kenyataan. Cara-cara kebijaksanaan negara dan pemerintahan bukan saja bertentangan dengan asas-asas kerakyatan dan hikmah musyawarah, bahkan menindas dan memperkosanya.
Jelaslah sudah bagi kita, bahwa istilah "demokrasi" dipakai sebagai topeng belaka justru untuk menindas dan menumpaskan asas-asas demokrasi sendiri... Tiba saatnya bagi segenap patriot Indonesia untuk bangkit menggalang kekuatan dan bertindak menyelamatkan bangsa dan negara Indonesia dari jurang malapetaka... MERDEKA!!!!! 

Sabtu, 20 November 2010

Untuk Wanita yang (pernah) memelihara naga di kepalanya.

Sekarang pukul 01.30 pagi di tempatmu.
Kulit wajahmu pasti sedang terlipat diantara kerutan sarung bantal. Rambutmu yang tebal menumpuk disisi kanan, karena engkau tidur terlungkup dengan muka menghadap kiri. Tanganmu selalu tampak menggapai, apakah itu yang selalu kau cari dibawah bantal?

Aku selalu ingin mencuri waktumu. Menyita perhatianmu. Semata-mata supaya aku bisa terpilin masuk kedalam lipatan seprai tempat tubuhmu sekarang terbaring.

Sudah hampir empat tahun aku begini. Empat puluh bulan. Kalikan tiga puluh. Kalikan dua puluh empat. Kalikan enam puluh. Kalikan lagi enam puluh. Kalikan lagi enam puluh. Niscaya akan kau dapatkan angka ini: 6.220.800.000

Itulah banyaknya milisekon sejak pertama aku jatuh cinta kepadamu. Angka itu bisa lebih fantastis kalau ditarik sampai skala nano. Silakan cek. Dan aku berani jamin engkau masih ada di situ. Di tiap inti detik, dan di dalamnya lagi, dan lagi, dan lagi...

Penunjuk waktu ku tak perlu mahal-mahal. Memandangmu memberikanku sensasi keabadian sekaligus mortalitas. Rolex tak mampu berikan itu.
Mengertilah, tulisan ini bukan bertujuan untuk merayu. Kejujuran sudah seperti riasan wajah yang menor, tak terbayang menambahinya lagi dengan rayuan. Angka miliaran tadi adalah fakta matematis. Empiris. Siapa bilang cinta tak bisa logis. Cinta mampu merambah dimensi angka dan rasa sekaligus.

Sekarang pukul 02.30 di tempatmu. Tak terasa sudah satu jam aku disini. Menyumbangkan lagi 216.000 milisekon ke dalam rekening waktuku. Terima kasih. Aku semakin kaya saja. Andaikan bisa kutambahkan satuan rupiah, atau lebih baik lagi, dolar, dibelakangnya. Tapi engkau tak ternilai. Engkau adalah pangkal, ujung, dan segalanya yang di tengah-tengah. Sensasi Ilahi. Tidak dolar, tak juga yen, mampu menyajikannya.

Aku tak pernah tahu keadaan tempat tidurmu. Bukan aku yang sering ada disitu. Entah siapa. Mungkin cuma guling atau bantal-bantal ekstra. Terkadang benda-benda mati justru mendapatkan apa yang paling kita inginkan, dan tak sanggup kita bersaing dengannya. Aku iri pada baju tidurmu, handukmu, apalagi pada guling... sudah. Stop. Aku tak sanggup melanjutkan. membayangkan saja ngeri. Apa rasanya dipeluk dan di dekap tanpa pretensi? Itulah surga. Dan manusia perlu beribadah jungkir-balik untuk mendapatkannya? Hidup memang bagaikan mengitari gunung Sinai. Tak diizinkannya kita untuk berjalan lurus-lurus saja demi mencapai tanah Perjanjian.

Kini, izinkan aku tidur. Menyusulmu ke alam abstrak di mana segalanya bisa bertemu. Pastikan kau ada di sana, tidak terbangun karena ingin pipis, atau mimpi buruk. Tunggu aku.

Begitu banyak yang ingin aku bicarakan. Mari kita piknik, mandi susu, potong  tumpeng, main pasir, adu jangkrik, balap karung, melipat kertas, naik getek, tarik tambang.. tak ada yang tidak bisa kita lakukan, bukan?
Tapi kalau boleh memilih satu: aku ingin mimpi tidur di sebelahmu. Ada tanganku di bawah bantal, tempat jemarimu menggapai-gapai.
Tidurku meringkuk ke sebelah kanan sehingga wajah kita berhadapan. Dan ketika matamu terbuka nanti, ada aku disana. Rambutku yang berdiri liar dan wajahmu yang tercetak kerut seprai.

Tiada yang lebih indah dari cinta dua orang di pagi hari. Dengan muka berkilap, bau keringat, gigi bermentega, dan mulut asam... mereka masih berani tersenyum dan saling menyapa 'selamat pagi'.

Rabu, 17 November 2010

11 minutes

Alkisah, dulu ada seekor burung jantan yang tampan. Dia punya sepasang sayap yang indah dan tubuhnya berhias bulu beraneka warna yang halus mengilat. Pendeknya, dia diciptakan untuk terbang bebas dilangit biru dan memberi rasa bahagia pada semua makhluk yang memandanginya.

Pada suatu hari, seorang perempuan melihat burung itu dan langsung jatuh hati padanya. Mulutnya menganga penuh kekaguman saat memandangi burung itu terbang membelah langit, jantungnya berdegup kencang, matanya berbinar-binar penuh harap. Dia meminta burung itu membawanya terbang, dan keduanya menari dengan serasi di angkasa. Dia sungguh mengagumi dan memuja burung itu.

Sempat terlintas di benak perempuan itu: Mungkin burung itu ingin berkelana ke puncak-puncak gunung yang jauh! Seketika hatinya risau dan cemas, khawatir hatinya tak mungkin jatuh kepada burung lain. Dan dia merasa sungguh iri, mengapa dia tidak bisa terbang bebas sebagaimana burung pujaannya itu.

Dan dia merasa sangat kesepian.
Lalu dia berpikir: "Akan kubuat sebuah jebakan. Jika burung itu muncul lagi, dia akan terjebak dan tak bisa pergi lagi."
Si burung yang ternyata juga jatuh cinta kepada perempuan itu datang keesokan harinya, terpikat masuk kedalam jebakan, dan akhirnya dikurung oleh perempuan itu.

Dengan puas hati perempuan itu memandangi burung pujaannya setiap hari. Akhirnya dia mendapatkan objek tempat dia menumpahkan segala luapan nafsunya, dan tidak lupa dia memamerkan burung itu kepada teman-temannya yang tak henti-heninya memuji: "kini kau telah mendapatkan segala sesuatu yang kau inginkan."
Namun kini terjadi perubahan yang aneh: karena burung itu telah mutlak dikuasainya dan dia tak perlu merayu dan memikatnya lagi, akhirnya dia tak lagi tertarik kepadanya. Dan si burung yang tak kuasa terbang dan mengungkapkan makna hidupnya yang sejati mulai merana; bulunya yang indah mengilat berubah kusam, dan makhluk penuh pesona itu berubah menjadi buruk rupa, dan perempuan itu semakin lama semakin tak menghiraukan dia, kecuali memberinya makan dan minum serta membersihkan kandangnya.

Pada suatu hari burung yang merana itu mati. Perempuan itu sangat bersedih, dan setiap hari menghabiskan waktunya untuk mengenang si burung. Tapi dia tak lagi hirau pada kandang burung itu--dia hanya teringat saat pertama kali melihat si burung yang mengepakkan sayapnya dengan penuh keyakinan diri di sela-sela awan.

Seandainya dia bisa becermin pada kalbunya yang paling dalam, dia akan insaf bahwa pesona terbesar makhluk berbulu itu adalah kebebasannya, keperkasaan kepak sayapnya, dan bukan sosoknya yang rupawan.
Tanpa kehadiran burung itu, hidupnya berubah hampa dan sepi makna, hingga suatu saat datang maut menjemputnya . "mengapa kau datang kemari?" tanya perempuan itu. "kujelang dirimu agar kau dapat kembali terbang bersamanya ke langit," jawab maut. "kalau saja dulu kaubiarkan dia bebas datang dan pergi, tentu akan semakin besar cinta dan kekagumanmu padanya; dan aku tak perlu datang untuk membawamu kepadanya."

Jumat, 05 November 2010

Petir yang menggelegarkan kecewa...

Mungkin kau tidak tahu aku menderita setiap hari. Sudah berbulan-bulan sampai sekarang, mencoba menunjukkan padamu betapa besarnya cintaku padamu, bahwa segala sesuatu baru terasa penting bila kau ada di sisiku. Tapi Sekarang, entah aku menderita atau tidak, aku telah memutuskan bahwa sudah cukuplah semua ini. Semua sudah berakhir. Aku lelah. Setelah malam ini kuhentikan perlawananku dan kukatakan pada pada dirku: kalau pukulan terakhir itu datang, biarlah ia datang. Pukulan bisa menjatuhkan aku ke kanvas, pukulan itu bisa membuatku KO, tapi suatu hari nanti aku akan pulih.



Aku tidak bisa kembali; bagaimanapun aku harus maju terus, kalau tidak aku akan hilang di tengah lautan; di titik itu, berbagai skenario menakutkan muncul bergantian di benakku, misalnya menghabiskan sisa hidupku bicara tentang sukses-suksesku yang lampau. Jadi, aku harus terus sampai ajalku tiba, tak boleh membiarkan diriku terperangkap dalam kesuksesan maupun kegagalan. Kalau tidak begitu, apalah arti hidupku? Menarik diri dari dunia dengan cara misterius dan penuh perhitungan untuk menciptakan legenda yang akan menjauhkanku dari kesenangan hidup?

Terguncang dengan pikiran-pikiran mengerikan itu, terbangkitlah kekuatan dan keberanian yang tadinya kukira tak kumilikki; kekuatan dan keberanian itu membantuku menjelajahi pelosok-pelosok jiwaku yang belum kukenal. Kubiarkan arus menyeretku, dan akhirnya kubuang suah perahuku di sebuah pulau ke mana arus tersebut membawaku. Kuhabiskan berhari-hari dan bermalam-malam untuk menceritakan apa yang kulihat, sambil bertanya-tanya mengapa aku melakukan ini; kukatakan pada diriku sendiri bahwa ini tidak sesuai dengan usaha dan jerih payahku, bahwa aku tdak harus membuktikan apapun pada siapapun, bahwa aku telah memperoleh apa yang kuinginkan dan jauh melebihi semua impianku.

Aku percaya hidup ini sudah diatur. Kita tinggal melangkah. Sebingung dan sesakit apa pun, semua sudah disiapkan bagi kita. Kita tinggal merasakan saja. Iya, rasakan saja. Kita pasti tahu jawabannya. Begitu juga dengan dia. Tidak ada yang bisa memaksakan, apakah Dia memang untukku atau ... untuk orang lain.
Pada akhirnya, tidak ada yang bisa memaksa. Tidak juga janji, atau kesetiaan. Tidak ada. Sekalipun akhirnya dia memilih untuk tetap bersamaku, hatinya tidak bisa dipaksa oleh apa pun, oleh siapa pun.
Kalau tidak begini, aku akan selalu memintamu untuk mencintaiku. Semua yang kamu lakukan adalah karena aku meminta, carilah orang yang tidak perlu meminta apa-apa, tapi kamu mau memberikan segalanya.

Jumat, 22 Oktober 2010

Luka tak Berdarah

Lelah tetapi tidak "lelah"...
Nikmatilah kawan, Jangan Tunduk!!!! Tataplah mata mereka yang mengajarkan kita menjadi 'sadis'. Hukuman ini takkan membuat kita tertunduk apalagi mundur. karena kita dibesarkan bukan untuk mundur... Suatu saat kita akan menertawakan hari ini...

Kamis, 21 Oktober 2010

Batu yang Lemah

Beginilah laki-laki, jika ditantang membahas perasaannya.
Sambil menahan perih, aku menggeleng-geleng kepala.


Sekarang lihat, aku harus menyalahi diriku sendiri karena sebelum menemukannya, sudah kuhentikan permainannya.
Pasti ia sedang menertawai kepasrahanku didalam persembunyiannya, sambil terus menantang tingkat kejelianku terhadap isi perasaannya.
Memang dia begitu.
terlalu hebat dalam banyak teka-teki. Untuk menyama-ratakan kata-katanya dengan daya pikirku saja, aku kesulitan. Sampai-sampai untuk bisa mengerti arti tatapnya, harus kutanya lagi kepada Tuhan.

“Apa arti perpisahan hari ini?”
Lalu katanya : “Perpisahan hari ini beda. Didalamnya mengandung sebuah akad kontrak untuk pertemuan berikutnya, sampai kita menjadi sepasang yang siap untuk tidak dipisahkan siapa-siapa.”
Sial. Ku tahu benar siapa dia.
Mata ini tidak bisa menjelajah seluruh bumi untuk memantau kesungguhan kata hatinya. Jadi, apa perlunya perpisahan hari ini, jika memikirkan dirinya diluar sana adalah seperti menaruh kepalaku diatas bara. “Kau yang hebat, bukan aku.”

Senin,
Selasa,
Rabu,
Kamis,
Jumat,
Sabtu,
Minggu.
7 algojo yang siap memecut tubuhku didalam kesepian kala memandangmu dari jauh.
2011, mungkin aku terbunuh.
Tapi suatu hari nanti, keras batumu akan dibuat retak oleh tetes air mataku yang mulai jatuh sejak hari ini. Artinya, jangan sampai kau menyesal dikemudian hari, karena tidak lagi mudah untukmu menemukan siapa yang pantas jadi pengganti.




Selasa, 19 Oktober 2010

Persahabatan lawan jenis

"Cinta yang timbul karena ketidaksengajaan.”
Itu alasan yang paling cetek untuk rasa cinta pada sahabat sendiri. Merasa cocok, nge-klop dan memiliki selera yang sepadan membuatmu terus berpikir tentang sebuah kemungkinan. Ditambah keperawakan sahabat yang menarik, keahliannya yang kau kagumi, akhirnya hatimu mencair oleh panasnya aura sahabat sendiri. Sayang, tema yang diangkat adalah “menahan rasa cemburu demi persahabatan.” Berarti ini berhubungan dengan rasa cinta yang sepatutnya dilarang. Mencemburui, bicara kau mutlak sebagai pemilik yang tidak rela miliknya dimiliki orang lain. Tapi jika keadaannya berbeda, yaitu kau mengingini yang tidak kau miliki padahal yang kau ingini sudah dimiliki, maka itu sudah mulai menyerempet kearah-arah iri. Berarti, sudah waktunya hati kembali dikoreksi.

Cuma sedikit kekasih yang mengantongi aib kekasihnya, menelan habis kekurangannya. Tetapi ada banyak sahabat yang sanggup akan hal itu. Pada dasarnya, jangan bilang kau sahabat jika kau belum mengantongi aib sahabatmu dan terus merahasiakannya. Jangan bilang kau sahabat jika kau belum menerima kekurangan sahabatmu dan tetap membanggakannya. Jangan bilang kau sahabat jika kau tidak menjadi bagian didalam kedukaannya, dan jangan bilang kau sahabat jika kau menciptakan kesedihan ditengah kebahagiaannya. Mutlak, kau adalah sahabat yang selalu sanggup memaafkannya.
Tetapi ini untungnya. Kau masih seorang sahabat, jika sebuah rahasia, kau mencintainya. Karena kalau sudah bicara cinta, berarti kau bicara kepada dirimu sendiri, yang notabene juga sahabatmu sendiri. Tetapi kadang cinta seringkali menang, melangkahi tempat terlarang tetapi tidak menghindar dari hukuman. Estetika memakan etika. Karena inilah indahnya :
“Sahabat adalah lebih daripada saudara sendiri. Tetapi kekasih yang dulu pernah jadi sahabat, melebihi keduanya.”

Siapa yang tidak mau?! ;)

Bentuk perlawanan dalam diam

Tidak terasa kita sudah sampai disini.
Waktu yang tidak pernah kita duga sebelumnya. Terasa begitu wajar kalau burung gereja masih berkicau diatap rumah ketika pagi, karena selalu salut menatap titian kita yang masih saja berusaha untuk tegap berdiri.

Maha, ternyata fakta ini tidak secuil senyum-senyum kecil.
Lihat saja cara mereka merealisasikan kekuatirannya! Aneh.
Kita diatur supaya melanggar, diikat supaya berontak dan diancam supaya melawan.
Bukankah itu sama dengan melatih ketangkasan kita untuk membasuh keringat, hari perharinya?

Sekarang bilang terima kasih kepada siapa saja yang menentang.
Karena mereka telah susah payah menyiapkan jalan untuk kita bisa menjadi semakin tak terkalahkan.

Minggu, 17 Oktober 2010

Disini aku, dimana kau

Kekasih, terakhir kali kita masih kami, kita berada di bumi. Bumi adalah planet terindah di dunia bagiku saat itu. Walau bagaimanapun keadaanku.
Lalu kau pergi, hatimu menjauh. Jarak yang memisahkan kita kemanapun kau pergi, bagiku sangat dekat. Tapi saat hatimu berjarak, sedekat apapun itu, itu jauh sesungguhnya bagiku. Tak lagi ada kau untukku, maka bumi tidak lagi menjadi tempat terindah bagiku. 
Semua suram, semua muram. Penghuni Bumi seakan menyindirku. Tak lama aku bertahan di bumi, jalanan yang sering kita lalui dulu, sudut kota tempat kita pernah berbagi senyum dulu, kursi rumah yang pernah kau duduki dulu, semua menyindirku, aku muak!. Lalu aku pergi dari Bumi yang tidak lagi bersahabat. Dengan emosiku saat itu, aku tak lagi ingin hidup lebih lama. Maka aku pindah ke Jupiter.
Kau tau?! Di Jupiter aku hanya harus melewati kurang dari 10 jam untuk satu harinya, dengan begitu mungkin waktu hidupku akan lebih cepat habis. Kulalui hari demi hari di Jupiter, sendiri. Masih saja aku mengingatmu, aku tak tau. Mungkin karena kita masih dekat, hanya terpisah satu Mars. Maka aku pergi dari Jupiter, semakin menjauhimu. Aku pindah ke Uranus. Entah apa saat itu kau masih mengingatku, tapi aku sangat ingin melupakanmu.
Aku pernah katakan padamu, kekasih. Kau tak akan pernah kehilanganku selama aku hidup, dan itu benar. Bukankah sering aku katakan itu?!
Mengingat itu, aku ingin kau merasakan sakitnya kehilangan. Tapi satu tahun di Uranus berarti 84 tahun di Bumi. Jadi bila kuhitung, kau pasti lebih dulu mati dariku, kau tak akan merasakan sakitnya kehilanganku. Maka aku kembali berpikir untuk pindah ke planet lain. Aku pindah ke Merkurius, satu tahun di Bumi, 88 hari di sana. Aku pasti lebih dulu mati darimu. 
Pada hari kedua aku di tempat itu, aku menyadari, satu hari di sana terasa sangat lama, sama dengan 59 hari Bumi. Dan aku masih saja mengingatmu, apa aku harus mengingatmu 59 hari tiap harinya?!
Entahlah, kekasih, seakan tak ada gunanya aku berpindah-pindah. Saat itu aku terpikir untuk kembali ke Bumi, walau menyakitkan, tapi aku merindukanmu. Aku urungkan niatku kembali, aku tak ingin mengganggumu dengan adaku. Aku pindah ke Mars, lebih dekat dari Bumi, tempatmu. Mungkin aku bisa melihatmu dari sana.
Katanya di Mars ada tanda kehidupan, aku berharap, mungkin suatu saat kau akan mengunjungi Mars, walau dengan kekasihmu. Tiap malam kupandangi Bumi, bertanya-tanya apa yang sedang kau lakukan, apakah kau merasa kehilangan?! Aku sangat merindukanmu.
Aku menangis karena tak juga bisa melupakanmu, tak juga bisa berhenti mengharapkanmu, karena rinduku tak terhapuskan. Sedang kau, entahlah, apa yang sedang kau lakukan di Bumi?! Tidakkah kau teringat padaku tiap kali menghela udara Bumi?!
Kau yang tinggal di Bumi, tidakkah Bumi mengingatkanmu akanku?! Akan masa-masa saat kita bersama dulu, tidakkah menyakitimu?! Karena itu menyakitiku saat aku berada di Bumi. Aku bertanya-tanya sendiri, aku tidak lagi di Bumi, tapi masih saja teringat akanmu. Apa yang salah, apa yang membuatku tetap saja mengingatmu?! 
Apa mungkin detak jantungku yang mengingatkanku akanmu?!
Ah, aku sadar. Ini memang detak jantung yang sama yang kupakai saat aku bersamamu dulu, saat juga kau bernafas di dekatku, karena itu aku tak bisa melupakanmu. Aku tersadar, mungkin selama detak jantungku masih berdetak seperti ini, aku tak akan pernah bisa melupakanmu. Bagaimana lagi, aku harus menyerah dengan usaha melupakanmu.
Maka dengan luluh lelahku aku menyerah. Aku pindah dari Mars, karena ternyata satu tahun di sana 687 hari Bumi. Kau pasti tetap lebih dulu mati, karena di Bumi hanya 365 hari setahun.
Maka di sinilah aku, sampai saat ini. Tidak jauh darimu, kau hanya tak tau. Aku berada di Venus saat ini. Di sini tidak terlalu nyaman. Ini mungkin tempat yang tepat bagiku, kekasih. Kau tau?! satu tahun di sini hanya 225 hari di Bumi. Aku pasti lebih dulu mati darimu. Tapi satu hari di sini, 243 hari di bumi. Sampai saat ini, dalam satu hari aku mengingatmu 243 kali lebih banyak dari di Bumi, bila kau ingin tau. 
Mungkin karena berada di tempat ini, aku akan lebih dulu mati darimu, mungkin kau akan merasa kehilangan saat itu. Itupun bila kau tau, karena kau tak lagi melihatku. Itupun bila kau tau, karena aku tak tau bagaimana cara memberitaumu bila aku mati nanti. Walaupun aku tau, mungkin aku akan berpikir ribuan kali lebih dulu sejak aku mati apakah kau perlu tau dengan kematianku. Bagaimana mungkin aku rela menyakitimu dengan kehilanganku. Kau tak akan tau.
Aku di sini, kekasih, di Venus. Tiap hari, aku mencintaimu 243 kali lebih banyak dari saat dulu aku masih di Bumi. Lihat aku.


Ah iya, Venus adalah planet asal wanita, katanya. Tapi aku tak dapat melihat satupun wanita di sini, kekasih. Apa kau tau mengapa?!

LET IT FLY

Tuhan tahu kita semua seniman dalam hidup. Suatu hari, Dia memberi kita palu untuk membuat patung, di hari lain Dia memberi kita kuas dan cat untuk melukis, atau kertas dan pensil untuk menulis. Tapi kau tidak bisa melukis dengan palu, atau membuat patung dengan kuas. Karena itu, betapapun sulitnya, aku harus menerima berkat kecil hari ini, walaupun berkat itu terlihat bagai kutukan, karena aku merasa menderita pada hari yang indah ini, saat matahari bersinar cerah dan anak-anak bernyanyi di jalanan. Ini satu-satunya jalan bagiku untuk meninggalkan kepedihanku dan membangun kembali hidupku,



Itu sebabnya sangat penting untuk membiarkan hal-hal tertentu berlalu. Lepaskan saja. Biarkan. Orang perlu mengerti bahwa hidup tidak pasti. Kadang-kadang kita menang, kadang-kadang kita kalah. Jangan harapkan imbalan, jangan harapkan pujian atas usahamu, jangan harapkan kejeniusanmu dikenal orang atau cinta mu dimengerti. Tutup lingkarannya. Bukan karena gengsi, ketidak mampuan atau arogansi, tapi karena apapun hal itu, itu sudah tidak sesuai lagi dengan hidupmu. Tutup pintu, hapus catatan, bersihkan rumah, buang debu. Berhentilah menjadi dirimu yang dulu dan jadilah dirimu yang sekarang.

Ah... cinta lagi.. cinta lagi...

Harapku, Ketika aku sudah tidak memilikki apa pun lagi yang bisa dirampas dariku, aku diberi segalanya. Ketika aku sudah tidak lagi menjadi diriku, kutemukan diriku. Ketika aku mengalami kenistaan tapi tetap mengayunkan langkahku, aku mengerti bahwa aku bebas memilih takdirku. Mungkin ada yang salah dengan diriku, entahlah, mungkin hubunganku hanya impian yang tak kumengerti. Yang kutahu walaupun aku bisa hidup tanpa dia, aku ingin bertemu dengannya lagi, untuk mengatakan apa yang tak pernah kukatakan ketika kami masih bersama: aku mencintaimu melebihi cintaku pada diriku sendiri. Kalau aku bisa mengatakan itu, aku bisa meneruskan hidupku, berdamai dengan diriku, karena cinta itu telah menyelamatkanku.

Pada waktu orang membolehkan cinta sejati muncul, hal-hal yang tadinya teratur menjadi berantakan dan menjungkirbalikkan semua yang tadinya kita kira benar dan betul. Dunia akan menjadi suatu kenyataan saat orang belajar mengenal arti cinta; sampai saat itu tiba, kita akan hidup dalam keyakinan bahwa kita tahu arti cinta, tetapi kita selalu tidak pernah punya suatu keberanian untuk menghadapi arti cinta yang sebenarnya.
Cinta adalah kekuatan yang tak akan pernah ditundukkan. Kalau kita berusaha mengendalikannya, cinta akan menghancurkan kita. Kalau kita berusaha mengurungnya, cinta akan memperbudak kita. Kalau kita mencoba memahaminya, cinta akan meninggalkan kita dalam kebingungan.

Akan ada hari


Akan ada hari dimana kau gelar sajadahku dan sajadahmu. Kita bersujud dalam sepenggal waktu, berulang kali.
Akan ada hari, dimana seluruh doa yang terucap dari bibirku. Kauamini juga dalam hati, 1 shaf di belakangku.
Akan ada hari kau siapkan sahurku, dengan senang hati. Dan menanti berbuka sembari mengukir senja.
Akan ada hari, kudengungkan adzan di balik daun telinga sosok yang mungil, yang mewarisi sebagian parasmu, dan sebagian tingkahku.
Akan ada hari, kita melihat nisan. Dan memesan sepetak lahan, berdampingan. Untuk nanti, ketika esok tak ada lagi.
Akan ada hari, entah kau, atau aku yang merana. Karena salah satu dari kita, akan pergi lebih dulu. Meninggalkan dunia, melepaskan fana.


kisah seorang tua afgan pada masa perang


Kisah seorang tua Afgan pada masa perang.
Setelah berabad-abad mengalami kekacauan dan pemerintahan yang buruk, rakyat sebuah kota yang letaknya jauh diatas salah satu gunung di daerah gurun provinsi Herat mulai putus asa. Mereka tidak bisa menyingkirkan monarki yang ada, tapi juga tidak tahan lagi menghadapi generasi kepemimpinan yang arogan dan egois. Mereka pun memanggil Loya Jirga, atau dewan local yang terdiri dari orang-orang bijak.
Loya Jirga memutuskan untuk mengangkat seorang raja setiap empat tahun, dan raja ini harus memiliki kekuasaan penuh. Raja boleh menaikkan pajak, memerintahkan agar rakyat patuh sepenuhnya, tidur dengan wanita berbeda setiap malam, dan makan-minum sampai puas. Raja boleh memakai pakaian terbaik dan mengendarai kuda terbagus. Singkatnya, apapun titah raja, betapapun absurdnya, akan dipenuhi, dan tak seorang pun akan bertanya apakah titah itu logis atau adil.
Namun, setelah masa empat tahun pemerintahan, raja harus turun tahta dan meninggalkan kota itu dengan hanya membawa keluarga serta pakaian di badan. Semua orang tahu bahwa itu akan berujung pada kematian setelah tiga atau empat hari karena tidak ada bahan makanan dan minuman di gurun luas yang luar biasa dingin pada musim dingin dan seperti neraka pada musim panas.
Orang-orang bijak loya jirga berasumsi tak seorang pun mau mengambil resiko untuk jadi raja sehinggan mereka bisa kembali ke system lama, yaitu pemilihan raja secara demokratis. Mereka mengumumkan keputusan tersebut dan tampuk kepemimpinan pun kosong. Awalnya, beberapa orang mengajukan diri, pria tua berpenyakit kanker menerima tantangan tersebut dan meninggal dengan bahagia saat masih memerintah. Ia digantikan seorang pria gila yang meninggalkan tahta empat bulan kemudian (karena salah mengerti tentang syarat-syaratnya). Pria itupun hilang di gurun. Lalu mulai berkembang desas-desus bahwa tahta itu terkutuk sehingga tak seorang pun berani mengajukan diri. Kota tersebut tidak memilikki pemimpin dan situasi mulai membingungkan sehingga para penduduknya sadar mereka perlu melupakan tradisi monarki dan bersiap-siap untuk merubah cara mereka. Loya Jirga senang karena para penduduk membuat keputusan bijaksana. Mereka tidak memaksa penduduk, mereka hanya menyingkirkan orang-orang yang menginginkan kekuasaan apapun konsekuensinya. Kemudian seorang pemuda, yang sudah menikah dengan tiga anak, mengajukan diri.
“Aku menerima tawaran itu,” kata si pemuda.
Para orang bijak berusaha menjelaskan resikonya. Mereka mengingatkan bahwa ia punya keluarga serta menjelaskan bahwa keputusan mereka hanyalah cara supaya tidak ada pemimpin yang kejam dan asal-asalan. Namun si pemuda tetap bertekad kuat, dan karena mereka tidak mungkin membatalkan keputusan sendiri, Loya Jirga tidak punya pilihan selain menunggu empat tahun sampai rencana pemilu bisa dijalankan.
Pemuda itu beserta keluarganya ternyata pemimpin yang baik. Mereka memerintah dengan adil, membagikan kekayaan dengan rata, menurunkan harga bahan pangan, menyelenggarakan berbagai pesta rakyat untuk merayakan perubahan musim, serta mendorong rakyat untuk bermusik dan membuat kerajinan. Namun setiap malam, karavan besar yang ditarik banyak kuda meninggalkan kota tersebut, dibelakangnya berderet gerobak-gerobak berat bertutup terpal sehingga tidak ada yang tahu apa isinya. Gerobak-gerobak ini tidak pernah kembali.
Awalnya, para orang bijak dari Loya Jirga mengira sang raja pasti memindahkan harta karun dari kota, namun mereka kembali tenang karena pemuda itu hampir tidak pernah keluar dari tembok kota; kalaupun ia mencoba memanjat gunung terdekat, ia pasti sadar kuda-kudanya pasti sudah mati sebelum sampai tujuan. Lagi pula, kota itu terletak di tempat paling terpencil di planet ini. Mereka yakin begitu pemerintahan raja berakhir, mereka bisa mendatangi tempat kuda-kudanya mati kelelahan dan si penunggang mati kehausan, dan akan menemukan semua harta karun itu.
Mereka tidak khawatir lagi dan menunggu dengan sabar.
Pada akhir masa empat tahun, si pemuda turun tahta dan meninggalkan kota. Masyarakat memprotes; lagi pula, sudah cukup lama mereka di perintah oleh raja yang bijaksana dan adil!
Namun keputusan Loya Jirga harus dihormati. Pemuda itu menghampiri istri dan anaknya, lalu meminta mereka ikut bersamanya.
“Aku akan ikut,” kata istrinya, “tapi setidaknya biarkan anak-anak kita tinggal. Supaya mereka tetap hidup untuk menceritakan kisah hidupmu.”
“Percayalah padaku,” kata suaminya.
Hukum suku sangat ketat dan sang istri tidak punya pilihan selain mematuhi suaminya. Mereka mengendarai kuda ke gerbang kota dan mengucapkan selamat tinggal pada semua teman yang mereka kenal selama empat tahun pemerintahan. Loya Jirga senang. Mungkin mereka punya banyak musuh, tapi takdir adalah takdir. Tak seorang pun mau mengambil resiko memerintah kota, dan tradisi demokrasi akhirnya kembali digunakan. Sesegera mungkin, mereka akan menggali kekayaan yang di kubur di gurun, kurang dari tiga hari perjalanan dari tempat itu.
Keluarga tersebut menuju lembah kematian tanpa suara. Sang istri tidak berani berkata apa-apa, anak-anak mereka tidak mengerti apa yang terjadi, sementara pemuda itu sibuk dengan pikirannya sendiri. Mereka menaiki bukit, menempuh perjalanan satu hari penuh menyeberangi gurun luas, lalu tidur di puncak bukit yang lain.
Sang istri terbangun subuh-subuh, ingin menikmati hari-hari terakhir hidupnya dengan melihat pemandangan pegunungan yang sangat ia cintai. Ia naik ke puncak paling tinggi dan menatap ke bawah, ingin melihat hamparan pasir yang membentang luas, tapi ia terkejut luar biasa.

Selama empat tahun, rombongan karavan yang meninggalkan kota setiap malam bukan membawa permata atau koin emas. Mereka membawa batu bata, biji-bijian, kayu, genteng, rempah-rempah, ternak, serta alat-alat tradisional yang dugunakan untuk mengebor tanah untuk mencari sumber air.
Dihadapannya terbaentang kota yang jauh yang jauh lebih modern serta jauh lebih indah dari kota yang lama, dan semuanya sempurna.
“Ini kerajaanmu,” kata si pemuda, yang baru bangun dan bergabung dengan istrinya. “Sejak mendengar dekrit tersebut, aku tahu tak ada gunanya berusaha mengubah pemerintahan yang korup dan rusak dalam empat tahun. Namun aku meyakini satu hal, kita bisa memulai semuanya dari awal.


dua puluh enam september


Aku harus berikap praktis, mempelajari semua kemungkinan, bagaimanapun kehidupan harus tetap berjalan. Aku bukan laki-laki pertama maupun terakhir yang ditinggalkan cinta, tapi haruskah itu terjadi pada suatu hari cerah, ketika semua orang dijalan dan tersenyum riang dan anak-anak bernyanyi-nyanyi, ketika tanda-tanda pertama musim semi mulai menampakkan diri, matahri bersinar,dan para pengemudi menghentikan kendaraannya di penyeberangan jalan, memberi jalan pada pejalan kaki?
Kuambil sehelai serbet. Akan kucatat semua ide yang ada dikepalaku. Sisihkan dulu perasaan, dan lihat apa yang bisa kulakukan.

Sampai suatu pagi, aku bangun dan mendapati diriku berpikir tentang hal lain, dan aku tahu bahwa yang terburuk sudah lewat. Hatiku mungkin masih sakit, tapi akan pulih dan akan mampu lagi melihat keindahan hidup. Itu pernah terjadi, dan akan terjadi lagi, aku yakin. Bila seseorang pergi, itu karena seseorang lain sudah waktunya datang-aku akan kembali menemukan cinta.

Sabtu, 16 Oktober 2010

saya mengutip dari "the winner stands alone"


Nasrudin  muncul di balairung istana dengan memakai turban indah untuk meminta sumbangan.
“Kau datang kesini meminta sumbangan, tapi kau memakai turban yang sangat mahal. Berapa harga turban indah itu?” Tanya sultan.
“Ini hadiah dari orang yang sangat kaya. Kalau tidak salah, harganya lima ratus koin emas,” jawab sufi bijak tersebut.
Patih yang berada di tempat itu bergumam: “mustahil. Tidak ada turban yang harganya semahal itu”.
Nasrudin berkeras:
“Aku bukan hanya dating ke sini untuk meminta-minta, aku juga ingin berbisnis. Aku tahu hanya penguasa sejati yang sanggup membeli turban ini seharga enam ratus koin emas, sehingga aku bisa memberikan kelebihannya kepada orang miskin.”
Sang sultan tersanjung dan membayar jumlah yang Nasrudin minta. Di pintu keluar, Nasrudin berkata pada sang patih:
“Kau mungkin tahu harga sebuah turban, tapi aku tahu seberapa dahsyat dampak kesombongan manusia”

(hal. 252-253)

Trinitas


aku menghadap ke luar jendela
ke dahan dan rumput yg baru tumbuh
menumbuhkan kerinduan yang sengit;

aku menghadap kepadamu
tak bisa menjerit
Udara adalah satu2nya yg sebanding dengan mu sore ini
yang menjadi nafasku meski ia diam atau menghambur
dan memperlihatkan dirinya menjadi pucuk2 daun

betapa perasaan ini adalah tangan yang meremas hati ku keras2
sampai remuk dan berjatuhan ditubuh impian yg selalu ku pungut lagi
nyaris seperti daun-daun jatuh di pagi hari.


created by : MRD

september ceria


Malam ini ingin kuakhiri sesak di dada
Kuteguk berbagai cerita pilu
Kunikmati setiap alirannya hingga keperutku
Tapi aku merasa sedikit lega,
Telah kosong gelas kehidupan cinta yang terlalu menyakitkan.
Biarlah kini cerita itu menari-nari di tubuhku menelusuri setiap aliran darah dan menjadikannya balu.