Kamis, 25 November 2010

Tidak Ada Hati Malam Ini

Enam puluh lima tahun setelah kemerdekaan tercapai, kenyataan menunjukkan bahwa kita masih jauh dari tujuan. Kita melihat dengan penuh kecemasan bahwa pimpinan negara dan pemerintahan sekarang ini telah membawa bangsa dan negara Indonesia kepada keadaan yang amat mengkhawatirkan.
Diktator perseorangan dan golongan yang berkuasa bukan lagi merupakan bahaya di ambang pintu, tetapi telah menjadi suatu kenyataan. Cara-cara kebijaksanaan negara dan pemerintahan bukan saja bertentangan dengan asas-asas kerakyatan dan hikmah musyawarah, bahkan menindas dan memperkosanya.
Jelaslah sudah bagi kita, bahwa istilah "demokrasi" dipakai sebagai topeng belaka justru untuk menindas dan menumpaskan asas-asas demokrasi sendiri... Tiba saatnya bagi segenap patriot Indonesia untuk bangkit menggalang kekuatan dan bertindak menyelamatkan bangsa dan negara Indonesia dari jurang malapetaka... MERDEKA!!!!! 

Sabtu, 20 November 2010

Untuk Wanita yang (pernah) memelihara naga di kepalanya.

Sekarang pukul 01.30 pagi di tempatmu.
Kulit wajahmu pasti sedang terlipat diantara kerutan sarung bantal. Rambutmu yang tebal menumpuk disisi kanan, karena engkau tidur terlungkup dengan muka menghadap kiri. Tanganmu selalu tampak menggapai, apakah itu yang selalu kau cari dibawah bantal?

Aku selalu ingin mencuri waktumu. Menyita perhatianmu. Semata-mata supaya aku bisa terpilin masuk kedalam lipatan seprai tempat tubuhmu sekarang terbaring.

Sudah hampir empat tahun aku begini. Empat puluh bulan. Kalikan tiga puluh. Kalikan dua puluh empat. Kalikan enam puluh. Kalikan lagi enam puluh. Kalikan lagi enam puluh. Niscaya akan kau dapatkan angka ini: 6.220.800.000

Itulah banyaknya milisekon sejak pertama aku jatuh cinta kepadamu. Angka itu bisa lebih fantastis kalau ditarik sampai skala nano. Silakan cek. Dan aku berani jamin engkau masih ada di situ. Di tiap inti detik, dan di dalamnya lagi, dan lagi, dan lagi...

Penunjuk waktu ku tak perlu mahal-mahal. Memandangmu memberikanku sensasi keabadian sekaligus mortalitas. Rolex tak mampu berikan itu.
Mengertilah, tulisan ini bukan bertujuan untuk merayu. Kejujuran sudah seperti riasan wajah yang menor, tak terbayang menambahinya lagi dengan rayuan. Angka miliaran tadi adalah fakta matematis. Empiris. Siapa bilang cinta tak bisa logis. Cinta mampu merambah dimensi angka dan rasa sekaligus.

Sekarang pukul 02.30 di tempatmu. Tak terasa sudah satu jam aku disini. Menyumbangkan lagi 216.000 milisekon ke dalam rekening waktuku. Terima kasih. Aku semakin kaya saja. Andaikan bisa kutambahkan satuan rupiah, atau lebih baik lagi, dolar, dibelakangnya. Tapi engkau tak ternilai. Engkau adalah pangkal, ujung, dan segalanya yang di tengah-tengah. Sensasi Ilahi. Tidak dolar, tak juga yen, mampu menyajikannya.

Aku tak pernah tahu keadaan tempat tidurmu. Bukan aku yang sering ada disitu. Entah siapa. Mungkin cuma guling atau bantal-bantal ekstra. Terkadang benda-benda mati justru mendapatkan apa yang paling kita inginkan, dan tak sanggup kita bersaing dengannya. Aku iri pada baju tidurmu, handukmu, apalagi pada guling... sudah. Stop. Aku tak sanggup melanjutkan. membayangkan saja ngeri. Apa rasanya dipeluk dan di dekap tanpa pretensi? Itulah surga. Dan manusia perlu beribadah jungkir-balik untuk mendapatkannya? Hidup memang bagaikan mengitari gunung Sinai. Tak diizinkannya kita untuk berjalan lurus-lurus saja demi mencapai tanah Perjanjian.

Kini, izinkan aku tidur. Menyusulmu ke alam abstrak di mana segalanya bisa bertemu. Pastikan kau ada di sana, tidak terbangun karena ingin pipis, atau mimpi buruk. Tunggu aku.

Begitu banyak yang ingin aku bicarakan. Mari kita piknik, mandi susu, potong  tumpeng, main pasir, adu jangkrik, balap karung, melipat kertas, naik getek, tarik tambang.. tak ada yang tidak bisa kita lakukan, bukan?
Tapi kalau boleh memilih satu: aku ingin mimpi tidur di sebelahmu. Ada tanganku di bawah bantal, tempat jemarimu menggapai-gapai.
Tidurku meringkuk ke sebelah kanan sehingga wajah kita berhadapan. Dan ketika matamu terbuka nanti, ada aku disana. Rambutku yang berdiri liar dan wajahmu yang tercetak kerut seprai.

Tiada yang lebih indah dari cinta dua orang di pagi hari. Dengan muka berkilap, bau keringat, gigi bermentega, dan mulut asam... mereka masih berani tersenyum dan saling menyapa 'selamat pagi'.

Rabu, 17 November 2010

11 minutes

Alkisah, dulu ada seekor burung jantan yang tampan. Dia punya sepasang sayap yang indah dan tubuhnya berhias bulu beraneka warna yang halus mengilat. Pendeknya, dia diciptakan untuk terbang bebas dilangit biru dan memberi rasa bahagia pada semua makhluk yang memandanginya.

Pada suatu hari, seorang perempuan melihat burung itu dan langsung jatuh hati padanya. Mulutnya menganga penuh kekaguman saat memandangi burung itu terbang membelah langit, jantungnya berdegup kencang, matanya berbinar-binar penuh harap. Dia meminta burung itu membawanya terbang, dan keduanya menari dengan serasi di angkasa. Dia sungguh mengagumi dan memuja burung itu.

Sempat terlintas di benak perempuan itu: Mungkin burung itu ingin berkelana ke puncak-puncak gunung yang jauh! Seketika hatinya risau dan cemas, khawatir hatinya tak mungkin jatuh kepada burung lain. Dan dia merasa sungguh iri, mengapa dia tidak bisa terbang bebas sebagaimana burung pujaannya itu.

Dan dia merasa sangat kesepian.
Lalu dia berpikir: "Akan kubuat sebuah jebakan. Jika burung itu muncul lagi, dia akan terjebak dan tak bisa pergi lagi."
Si burung yang ternyata juga jatuh cinta kepada perempuan itu datang keesokan harinya, terpikat masuk kedalam jebakan, dan akhirnya dikurung oleh perempuan itu.

Dengan puas hati perempuan itu memandangi burung pujaannya setiap hari. Akhirnya dia mendapatkan objek tempat dia menumpahkan segala luapan nafsunya, dan tidak lupa dia memamerkan burung itu kepada teman-temannya yang tak henti-heninya memuji: "kini kau telah mendapatkan segala sesuatu yang kau inginkan."
Namun kini terjadi perubahan yang aneh: karena burung itu telah mutlak dikuasainya dan dia tak perlu merayu dan memikatnya lagi, akhirnya dia tak lagi tertarik kepadanya. Dan si burung yang tak kuasa terbang dan mengungkapkan makna hidupnya yang sejati mulai merana; bulunya yang indah mengilat berubah kusam, dan makhluk penuh pesona itu berubah menjadi buruk rupa, dan perempuan itu semakin lama semakin tak menghiraukan dia, kecuali memberinya makan dan minum serta membersihkan kandangnya.

Pada suatu hari burung yang merana itu mati. Perempuan itu sangat bersedih, dan setiap hari menghabiskan waktunya untuk mengenang si burung. Tapi dia tak lagi hirau pada kandang burung itu--dia hanya teringat saat pertama kali melihat si burung yang mengepakkan sayapnya dengan penuh keyakinan diri di sela-sela awan.

Seandainya dia bisa becermin pada kalbunya yang paling dalam, dia akan insaf bahwa pesona terbesar makhluk berbulu itu adalah kebebasannya, keperkasaan kepak sayapnya, dan bukan sosoknya yang rupawan.
Tanpa kehadiran burung itu, hidupnya berubah hampa dan sepi makna, hingga suatu saat datang maut menjemputnya . "mengapa kau datang kemari?" tanya perempuan itu. "kujelang dirimu agar kau dapat kembali terbang bersamanya ke langit," jawab maut. "kalau saja dulu kaubiarkan dia bebas datang dan pergi, tentu akan semakin besar cinta dan kekagumanmu padanya; dan aku tak perlu datang untuk membawamu kepadanya."

Jumat, 05 November 2010

Petir yang menggelegarkan kecewa...

Mungkin kau tidak tahu aku menderita setiap hari. Sudah berbulan-bulan sampai sekarang, mencoba menunjukkan padamu betapa besarnya cintaku padamu, bahwa segala sesuatu baru terasa penting bila kau ada di sisiku. Tapi Sekarang, entah aku menderita atau tidak, aku telah memutuskan bahwa sudah cukuplah semua ini. Semua sudah berakhir. Aku lelah. Setelah malam ini kuhentikan perlawananku dan kukatakan pada pada dirku: kalau pukulan terakhir itu datang, biarlah ia datang. Pukulan bisa menjatuhkan aku ke kanvas, pukulan itu bisa membuatku KO, tapi suatu hari nanti aku akan pulih.



Aku tidak bisa kembali; bagaimanapun aku harus maju terus, kalau tidak aku akan hilang di tengah lautan; di titik itu, berbagai skenario menakutkan muncul bergantian di benakku, misalnya menghabiskan sisa hidupku bicara tentang sukses-suksesku yang lampau. Jadi, aku harus terus sampai ajalku tiba, tak boleh membiarkan diriku terperangkap dalam kesuksesan maupun kegagalan. Kalau tidak begitu, apalah arti hidupku? Menarik diri dari dunia dengan cara misterius dan penuh perhitungan untuk menciptakan legenda yang akan menjauhkanku dari kesenangan hidup?

Terguncang dengan pikiran-pikiran mengerikan itu, terbangkitlah kekuatan dan keberanian yang tadinya kukira tak kumilikki; kekuatan dan keberanian itu membantuku menjelajahi pelosok-pelosok jiwaku yang belum kukenal. Kubiarkan arus menyeretku, dan akhirnya kubuang suah perahuku di sebuah pulau ke mana arus tersebut membawaku. Kuhabiskan berhari-hari dan bermalam-malam untuk menceritakan apa yang kulihat, sambil bertanya-tanya mengapa aku melakukan ini; kukatakan pada diriku sendiri bahwa ini tidak sesuai dengan usaha dan jerih payahku, bahwa aku tdak harus membuktikan apapun pada siapapun, bahwa aku telah memperoleh apa yang kuinginkan dan jauh melebihi semua impianku.

Aku percaya hidup ini sudah diatur. Kita tinggal melangkah. Sebingung dan sesakit apa pun, semua sudah disiapkan bagi kita. Kita tinggal merasakan saja. Iya, rasakan saja. Kita pasti tahu jawabannya. Begitu juga dengan dia. Tidak ada yang bisa memaksakan, apakah Dia memang untukku atau ... untuk orang lain.
Pada akhirnya, tidak ada yang bisa memaksa. Tidak juga janji, atau kesetiaan. Tidak ada. Sekalipun akhirnya dia memilih untuk tetap bersamaku, hatinya tidak bisa dipaksa oleh apa pun, oleh siapa pun.
Kalau tidak begini, aku akan selalu memintamu untuk mencintaiku. Semua yang kamu lakukan adalah karena aku meminta, carilah orang yang tidak perlu meminta apa-apa, tapi kamu mau memberikan segalanya.