Jumat, 05 November 2010

Petir yang menggelegarkan kecewa...

Mungkin kau tidak tahu aku menderita setiap hari. Sudah berbulan-bulan sampai sekarang, mencoba menunjukkan padamu betapa besarnya cintaku padamu, bahwa segala sesuatu baru terasa penting bila kau ada di sisiku. Tapi Sekarang, entah aku menderita atau tidak, aku telah memutuskan bahwa sudah cukuplah semua ini. Semua sudah berakhir. Aku lelah. Setelah malam ini kuhentikan perlawananku dan kukatakan pada pada dirku: kalau pukulan terakhir itu datang, biarlah ia datang. Pukulan bisa menjatuhkan aku ke kanvas, pukulan itu bisa membuatku KO, tapi suatu hari nanti aku akan pulih.



Aku tidak bisa kembali; bagaimanapun aku harus maju terus, kalau tidak aku akan hilang di tengah lautan; di titik itu, berbagai skenario menakutkan muncul bergantian di benakku, misalnya menghabiskan sisa hidupku bicara tentang sukses-suksesku yang lampau. Jadi, aku harus terus sampai ajalku tiba, tak boleh membiarkan diriku terperangkap dalam kesuksesan maupun kegagalan. Kalau tidak begitu, apalah arti hidupku? Menarik diri dari dunia dengan cara misterius dan penuh perhitungan untuk menciptakan legenda yang akan menjauhkanku dari kesenangan hidup?

Terguncang dengan pikiran-pikiran mengerikan itu, terbangkitlah kekuatan dan keberanian yang tadinya kukira tak kumilikki; kekuatan dan keberanian itu membantuku menjelajahi pelosok-pelosok jiwaku yang belum kukenal. Kubiarkan arus menyeretku, dan akhirnya kubuang suah perahuku di sebuah pulau ke mana arus tersebut membawaku. Kuhabiskan berhari-hari dan bermalam-malam untuk menceritakan apa yang kulihat, sambil bertanya-tanya mengapa aku melakukan ini; kukatakan pada diriku sendiri bahwa ini tidak sesuai dengan usaha dan jerih payahku, bahwa aku tdak harus membuktikan apapun pada siapapun, bahwa aku telah memperoleh apa yang kuinginkan dan jauh melebihi semua impianku.

Aku percaya hidup ini sudah diatur. Kita tinggal melangkah. Sebingung dan sesakit apa pun, semua sudah disiapkan bagi kita. Kita tinggal merasakan saja. Iya, rasakan saja. Kita pasti tahu jawabannya. Begitu juga dengan dia. Tidak ada yang bisa memaksakan, apakah Dia memang untukku atau ... untuk orang lain.
Pada akhirnya, tidak ada yang bisa memaksa. Tidak juga janji, atau kesetiaan. Tidak ada. Sekalipun akhirnya dia memilih untuk tetap bersamaku, hatinya tidak bisa dipaksa oleh apa pun, oleh siapa pun.
Kalau tidak begini, aku akan selalu memintamu untuk mencintaiku. Semua yang kamu lakukan adalah karena aku meminta, carilah orang yang tidak perlu meminta apa-apa, tapi kamu mau memberikan segalanya.

1 komentar:

  1. komentar seperti apa yang diharapkan penulis dalam tema seperti ini;terlebih lagi sisi subyektifitas (yaitu bahwa saya mengerti betul situasi penulis saat ini) tentunya tidaklah penting.
    Dia (penulis)akan menerima segala bentuk komentar,mulai dari pujian,simpati,nasihat (percayalah nasihat akan sia2 karena orang yg paling pintar adalah orang yang berada dalam situasi "ini").
    Kenapa komentar pembaca tidak menjadi penting ? karena memang penulis tidak sedang bercerita atau orasi pengakuan dan rencana janji2 gemilang seperti PELITA eranya soeharto.

    penulis saat ini hanya sedang tertidur di siang hari dengan mimpi sedang menulis sebuah mahakarya tentang betapa belum cukupnya hari kemarin.

    Jadi,memposisikan diri sebagai pembaca, saya hanya perlu dan harus yakin bahwa PENULIS AKAN BANGUN DARI TIDUR SIANGNYA.

    BANGUN DARI TIDUR SIANG dengan situasi SORE HARI dimana kita akan bertukar komentar dalam "ruang" yang nyata.
    Ya......ruang yang nyata,denan nuansa senyum pd getar suara,pd sorot mata,dan pd raut wajah...tak peduli apa ceritanya,yang kita punya saat itu hanya tersenyum (lagi).

    *anggap saja ini komentar yang mewakili golongan pembaca (sekaligus pendengar) berpengalaman. Trims.

    BalasHapus