Minggu, 14 Oktober 2012

(Pernah) Bersamamu

Pernah bersamamu adalah salah satu hadiah terbaik yang pernah diberikan hidup kepadaku. Meskipun pada akhirnya aku tidak mampu mempertahankanmu. Entah tanganku kurang kuat, atau memang tanganmu terlalu kuat untuk kugenggam lalu berjalan bersama pada jalan yang telah kita sepakati. Atau juga kau telah merasa tidak lagi sependapat denganku untuk menggapai apa yang yang menjadi mimpi dengan keringat sendiri. Mungkin kau mencari orang lain yang punya kekuatan untuk membawakan impian ke pangkuanmu tanpa perlu kau mengeluarkan keringat untuk mendapatkannya. Sadarkah kau dengan begitu kau telah menyerahkan dirimu untuk miliknya? Bukan hatimu. Yang tanpa kau sadari membuat ia merasa berhak atas dirimu. Kau pasti mengerti maksudku.

Aku tidak pernah menginginkan kau pergi, tetapi aku juga tidak akan menghalangi jika kau sendiri yang menginginkannya. Meskipun aku mencintaimu, aku tidak akan mencabut kekuasaanmu atas dirimu sendiri.

Jika membicarakan masa lalu, kepalaku tidak akan tertunduk jika itu membicarakanmu.
Ratusan orang yang mengincar hatimu, tetapi aku adalah sosok unik dalam sejarah republik ini, dalam arti aku mengejarmu tanpa bantuan sumber daya apa pun selain bakatku sendiri. Tidak seperti Metellus atau Hortensius, aku bukan berasal dari keluarga aristokrat yang agung, dengan piutang budi politik turun temurun selama beberapa generasi yang dapat ditagih pada saat pemilu. Aku tidak memiliki armada perang yang perkasa seperti Pompeius atau Caesar. Aku tidak memiliki harta melimpah seperti Crassus untuk melicinkan jalan. Yang kumiliki hanyalah semangat pantang kalah oleh luka. Dan aku bangga hatimu pernah bertahta dalam peluk ini. Meski tidak lama.

Sabtu, 02 Juni 2012

Dermaga Biru



Sebuah dermaga bambu untuk tempat kembalimu. Semoga cinta yang membuatmu menepi, bukan rasa sepi.

Istana, Bukan Rumah

Pernah bersamamu adalah salah satu hadiah terbaik yang pernah diberikan hidup kepadaku. Meskipun pada akhirnya aku tidak mampu mempertahankanmu. Entah tanganku kurang kuat, atau memang tanganmu terlalu kuat untuk kugenggam lalu berjalan bersama pada jalan yang telah kita sepakati. Atau juga kau telah merasa tidak lagi sependapat denganku untuk menggapai apa yang yang menjadi mimpi dengan keringat sendiri. Mungkin kau mencari orang lain yang punya kekuatan untuk membawakan impian ke pangkuanmu tanpa perlu kau mengeluarkan keringat untuk mendapatkannya. Sadarkah kau dengan begitu kau telah menyerahkan dirimu untuk miliknya? Bukan hatimu. Yang tanpa kau sadari membuat ia merasa berhak atas dirimu. Kau pasti mengerti maksudku.

Sekarang pergilah, jika yang engkau inginkan adalah istana, bukan 'rumah'.

Sabtu, 28 April 2012

Selamat Ulang Tahun, Diri Sendiri

24 Tahun lalu, tepat hari ini lahir seorang biasa dari rahim Ibu yang luar biasa. Seandainya saat itu saya telah dapat berinteraksi, mungkin dokter akan langsung memberikan selamatnya kepada saya karena mempunyai seorang Ibu yang hebat.

24 Tahun sudah saya berada di dunia dan belum berbuat apa-apa untuk membuat bangga semua orang terkasih dengan keberadaan saya di bumi. 24 sebenarnya terlalu lama untuk tidak menghasilkan apa-apa. 24 terlalu lama untuk dilewatkan dengan biasa. Namun 24 terlalu sebentar jika dihabiskan bersama kamu, kekasih. (Seserius apa pun, nyepik harus tetap ikut!)

Saya besar dari keluarga yang biasa, tumbuh seperti biasa seperti manusia lainnya. Namun saya hidup diantara orang yang sangat luar biasa. Keluarga yang luar biasa, teman yang luar biasa, lingkungan yang luar biasa. Mereka semua memberi ilmu lebih dari yang sekolah berikan kepada saya. Kalau saya diberikan kesempatan untuk memilih hidup sekali lagi, saya akan tetap meminta hidup seperti ini (cuma kalau boleh, ditambahin bisa main gitar dan piano, biar nggak perlu usaha setengah mati buat dapat pacar). Ah, Tuhan, Engkau memang terlalu baik kepada saya. Seharusnya saya lebih bersyukur atas RahmatMu yang tiada hentinya Engkau berikan. Kalau boleh nanya, Tuhan, kapan jodoh saya yang di tanganMu akan Engkau lepaskan? Kasian dia, Tuhan. *kemudian disambar petir*

Terima kasih, Tuhan, untuk tawa, tangis, manis, pait, ramai, sepi, galau (ini seringnya kelewatan, Tuhan), dan segala kemudahan hidup yang tidak pada semua manusia Engkau berikan selama hidup yang telah saya lewatkan.

Terima kasih, keluarga. Kalian mengajarkan bagaimana menjalani hidup seharusnya dengan usaha tanpa lelah dan dengan tangan sendiri. Bukan dengan gelimpangan uang (walaupun sebenarnya karena memang kita tidak punya), dengan ikut MLM, Judi togel, atau segala bentuk jalan pintas untuk mencapai puncak harapan.

Terima kasih, teman. Kalian membantu saya bangkit dengan pelukan walaupun terkadang memaksa saya harus bangkit dengan tamparan. Namun kita sama-sama tahu bahwa pelukan dan tamparan pada dasarnya hanyalah cara untuk membuat kita sama-sama menggapai mimpi yang sering kita tertawakan karena keseringan kita menganggap mimpi kita terlalu tinggi. Kita sering tidak sadar bahwa tangan kita masih terlalu kecil untuk dapat memeluk gunung yang besar. Tapi ketidakpedulian kita terhadap ukuran tangan kita yang saya anggap sebagai kehebatan kita, kawan. Aduh, ini bukan punya saya!!! *melihat air keluar dari mata*

Terima kasih, untuk wanita yang pernah tinggal di hati saya. Kalian meyakinkan saya kalau apa yang selama ini saya anggap satu-satunya keindahan yang saya miliki yaitu hati saya, bukan merupakan jaminan seseorang akan betah tinggal di dalamnya. Kalian juga telah meyakinkan saya bahwa cinta saja terkadang tidak cukup. Namun mungkin juga cinta kita saja yang masih terlalu lemah untuk dapat bertahan di derasnya arus zaman. Tenang, saya tidak akan memeluk kalian kali ini, karena saya menghargai perasaan pacar kalian. (tapi kapan pacar kalian menghargai perasaan saya? #NggakSantai)

Untuk selanjutnya, saya hanya berharap dapat menghapus satu hal yang saya anggap paling sering saya lakukan. Bukan, saya tidak ingin menghapus kenangan, saya hanya ingin menghilangkan kebiasaan-kebiasaan mengeluh. Pada intinya, saya berterima kasih atas apa yang sudah dan akan terjadi pada hidup saya. Semua itu adalah ilmu yang membuat saya selalu belajar.

Selamat ulang tahun, diri sendiri.
(saya juga nggak ngerti, ini tulisan tentang ulang tahun atau kata pengantar Skripsi)

Senin, 05 September 2011

Selamat Ulang Tahun

Sekitar tiga tahun yang lalu pertama kali aku mendengar lagu The Click Five yang judulnya 'Happy Birthday'. Waktu itu aku berharap dapat menyanyikan lagu itu saat umurmu tepat 21 tahun. Sekarang aku dapat menyanyikannya, tapi tidak bersamamu. Iya, aku menyanyikan lagu ini sendiri di dalam kamar sebuah toko kayu di salah satu Kabupaten di Jawa Barat. Sebenarnya bisa dibilang bukan kamar, tapi sebuah gudang yang disulap menjadi kamar. Jangan dipikirkan, aku sedang tidak membicarakan diriku.

Hey, kamu. Sebuah nama yang tegap berdiri di dalam ruang ingatku. Tepat pada tanggal sekarang di 21 tahun lalu kau hadir ke dunia. Tentu saja waktu itu kau belum menangis untukku. Hingga saat ini pun mungkin kau masih belum pernah menangis untukku. Kuharap itu memang itu tidak pernah terjadi. Ah, itu bukan sebuah masalah bagiku. Yang pasti saat teriakan pertamamu ada banyak senyum bahagia dari orang-orang yang sangat menantikan kehadiranmu, terutama seorang wanita yang dari tubuhnya kau bermetamorfosis menjadi seorang manusia. Ibumu.

Sekarang, usiamu tepat 21 tahun. Usia dimana kau memasuki fase dewasa dan usia dimana seharusnya kau mengetahui betapa tidak enaknya menjadi orang dewasa. Menjadi dewasa berarti menambah hal-hal yang harus kau pikirkan dan menjadi pertimbanganmu sebelum kau menentukan kemana arah akan kau langkahkan kakimu. Bukan seperti beberapa tahun lalu, yang menjadi masalah dalam hidupmu hanya tentang hati dan bagaimana caranya bisa bebas bermain dengan temanmu dan belum hadir kata beban dalam ruang ingatmu. Sekarang kau dituntut untuk tidak hanya memikirkan keinginanmu sendiri dalam mengambil sebuah langkah. Tapi kau juga harus melibatkan orang-orang disekitarmu. Paling tidak keluarga inti ikut menjadi pertimbangan sebelum kau memutuskan mana satu dari banyak mimpimu untuk kau wujudkan.

Oh iya, bagaimana kabarmu? Kau sehat, bukan? Kesehatanmu selalu menjadi hal utama yang sering kupinta kepada Tuhan setelah kebahagiannmu. Iya, aku mendoakan kebahagiaanmu. Mungkin salahku juga jika aku hanya mendoakan kamu bahagia. Aku lupa meminta kau bahagia bersamaku. Tapi terlalu egois jika aku meminta begitu.

Jujur saja, sebenarnya saat ini aku sedang bertarung hebat dengan perasaanku sendiri yang begitu mendesakku untuk menghubungimu tanpa mempedulikan lagi dia yang seharusnya dan kau tunggu untuk mengucapkan kalimat yang seharusnya dari tadi kuucapkan kepadamu, kalimat yang begitu membuatku begitu lelah melawan perasaan yang biasanya mengendalikan arah hidupku. Kau pasti tahu bagaimana beratnya melawan sesuatu yang berkuasa. Itu belum seberapa, aku juga harus menyingkirkan batu besar yang biasa disebut tanda tanya apa aku masih relevan jika mengucapkan selamat kepadamu? Ada dua kemungkinan yang membuatku ragu mengucapkannya.
Pertama, aku takut kau sedih saat aku mengucapkan kalimat tersebut. Aku tidak ingin merusak semua doaku sendiri dengan membuatmu bersedih.
Yang kedua, aku tidak ingin kau mengasihaniku karena aku masih saja menempatkanmu ditempat paling tinggi dalam ruang ingatku. Aku berjuang untukmu, bukan mengemis kepadamu.

Tapi sudahlah, biarkan saja aku mengucapkan yang saat ini paling ingin kau dengar diatas media elektronik yang sebenarnya tidak pernah mampu mewakili sebuah kehadiran. Ucapan selamat ulang tahun doa-doa baik yang sama dengan yang dilontarkan oleh orang sekitarmu yang sangat menyayangimu. Jika nanti aku mempunyai keberanian menyingkirkan batu tadi kemudian mengucapkan selamat ulang tahun kepadamu melalui gelombang suara, aku tidak akan menyertakan doa didalamnya, karena doa untuk kesehatan, kebahagiaan, dan kesuksesanmu tidak hanya kuhadirkan pada tanggal lahirmu.

Selamat ulang tahun.

Rabu, 25 Mei 2011

Antara Memberi dan Menunjukkan

Semalam, aku bermimpi mendengar suara ibuku. Ia menceritakan kisah yang sering diceritakannya padaku saat masih kanak-kanak dulu. Aku tak menyadari bahwa kisah itu mengenai diriku.

"Seorang anak laki-laki dan perempuan jatuh cinta setengah mati," suara ibuku berkata. "Mereka memutuskan bertunangan. Dan ketika itulah kedua calon mempelai saling bertukar hadiah.

Anak laki-laki itu sangat miskin--miliknya yang paling berharga hanya arloji yang diwarisinya dari kakeknya. Ketika ia membayangkan rambut kekasihnya yang indah, ia memutuskan menjual arloji itu untuk membelikan jepit rambut perak bagi kekasihnya.

Anak perempuan itu juga tidak mempunyai uang untuk membeli hadiah bagi kekasihnya. Ia pergi ke toko milik pedagang paling sukses di kota itu, dan menjual rambutnya. Dengan uang yang di dapat, ia membelikan rantai jam emas bagi kekasihnya.

Ketika bertemu di pesta pertunangan, si anak perempuan memberikan rantai jam untuk arloji yang telah dijual kekasihnya, dan si anak laki-laki memberinya jepitan untuk rambut yang tidak lagi dimiliki kekasihnya.

Karena saya bukan seorang Notulen, silakan tarik kesimpulan masing-masing. :)

Minggu, 13 Maret 2011

Di Dalam Tubuh Ini (pernah) Hidup Seorang Manusia.

Pintu bagiku sudah tertutup sejak kulihat punggung mereka di atas sebuah motor, menghilang dari pandangan saat berbelok di sebuah tikungan. Dan aku sebisa mungkin menahan sesak yg seketika mencekikku, memaksa diriku untuk tersenyum menerima. Kali ini, bukan dia yg memeluk pinggangku.


Dari tempat persembunyianku, aku setengah mati melawan perasaan asing yg melanda; Sebuah kesadaran baru menohok dadaku dengan kejam. Tak ada lagi kita. Hanya ada aku, aku dan kalian. Gelombang kesadaran itu seolah ingin membunuhku.

Lima tahun dua bulan. Kira-kira, berapa kardus barang kenangan yg bisa dihasilkan dalam waktu lima tahun dua bulan?
Kumpulan potongan karcis bioskop, tiket konser, karcis kereta, surat cinta, sms, boneka, bungkus coklat, Mawar kering yang yang diselipkan di antara lembaran buku, t-shirt pasangan yg kesepian karena pasangannya ada dalam lemarinya, Dan Scrapbook berisi foto-foto selama lima tahun dua bulan.

"Kini kita berada di jalur yang berlawanan arah, kita sudah menginginkan hal yg berbeda, kita tidak bisa bersama lagi."
Susah payah kutanamkan konsep itu di kepalaku agar setidaknya aku bisa menerima keputusannya. Kepalaku bisa menerima, tapi tidak hatiku. Kini aku berdiri di hadapan api yg siap melalap apapun yg ia sentuh. Bunyi perciknya menghajar kayu dan plastik terdengar berdesis, Kadang warna merahnya berpendar biru saat menyentuh senyawa tertentu. Di kanan kiriku, kardus berisi benda-benda kenangan.

Aku siap melepaskan semuanya. Aku siap melempar semua ke dalam api. Potongan-potongan tiket ini, foto-foto ini, dan bahkan, ingatan ini. Satu demi satu benda kenangan itu habis dilalap api, semua berubah jadi abu.



Tapi Tuhan, bagaimana membakar ingatan yg berada di dalam sini, dan sini? Tanyaku sambil menunjuk kepala dan hatiku.

Kemudian, Bayangan memeluk pinggang diatas motor itu kembali menguji kesabaranku. Gambar itu menari seolah ingin mengejekku. Aku, yang ditinggalkan, yang tidak diperkenankan lagi masuk pintu hatinya. Seseorang menetap disana, mengunci pintunya dari dalam. Seketika, api semakin menyebar, berkobar-kobar di kepalaku.

Tetapi, Aku takkan menyebut cintaku padanya sebagai sesuatu yg busuk. Jadi aku tidak akan menggunakan peribahasa 'sebaik-baiknya menyembunyikan bangkai akan tercium juga'. Cinta tak pernah busuk. Walau lahir dari cinta yang lain, cinta tak pernah busuk.