Minggu, 13 Maret 2011

Di Dalam Tubuh Ini (pernah) Hidup Seorang Manusia.

Pintu bagiku sudah tertutup sejak kulihat punggung mereka di atas sebuah motor, menghilang dari pandangan saat berbelok di sebuah tikungan. Dan aku sebisa mungkin menahan sesak yg seketika mencekikku, memaksa diriku untuk tersenyum menerima. Kali ini, bukan dia yg memeluk pinggangku.


Dari tempat persembunyianku, aku setengah mati melawan perasaan asing yg melanda; Sebuah kesadaran baru menohok dadaku dengan kejam. Tak ada lagi kita. Hanya ada aku, aku dan kalian. Gelombang kesadaran itu seolah ingin membunuhku.

Lima tahun dua bulan. Kira-kira, berapa kardus barang kenangan yg bisa dihasilkan dalam waktu lima tahun dua bulan?
Kumpulan potongan karcis bioskop, tiket konser, karcis kereta, surat cinta, sms, boneka, bungkus coklat, Mawar kering yang yang diselipkan di antara lembaran buku, t-shirt pasangan yg kesepian karena pasangannya ada dalam lemarinya, Dan Scrapbook berisi foto-foto selama lima tahun dua bulan.

"Kini kita berada di jalur yang berlawanan arah, kita sudah menginginkan hal yg berbeda, kita tidak bisa bersama lagi."
Susah payah kutanamkan konsep itu di kepalaku agar setidaknya aku bisa menerima keputusannya. Kepalaku bisa menerima, tapi tidak hatiku. Kini aku berdiri di hadapan api yg siap melalap apapun yg ia sentuh. Bunyi perciknya menghajar kayu dan plastik terdengar berdesis, Kadang warna merahnya berpendar biru saat menyentuh senyawa tertentu. Di kanan kiriku, kardus berisi benda-benda kenangan.

Aku siap melepaskan semuanya. Aku siap melempar semua ke dalam api. Potongan-potongan tiket ini, foto-foto ini, dan bahkan, ingatan ini. Satu demi satu benda kenangan itu habis dilalap api, semua berubah jadi abu.



Tapi Tuhan, bagaimana membakar ingatan yg berada di dalam sini, dan sini? Tanyaku sambil menunjuk kepala dan hatiku.

Kemudian, Bayangan memeluk pinggang diatas motor itu kembali menguji kesabaranku. Gambar itu menari seolah ingin mengejekku. Aku, yang ditinggalkan, yang tidak diperkenankan lagi masuk pintu hatinya. Seseorang menetap disana, mengunci pintunya dari dalam. Seketika, api semakin menyebar, berkobar-kobar di kepalaku.

Tetapi, Aku takkan menyebut cintaku padanya sebagai sesuatu yg busuk. Jadi aku tidak akan menggunakan peribahasa 'sebaik-baiknya menyembunyikan bangkai akan tercium juga'. Cinta tak pernah busuk. Walau lahir dari cinta yang lain, cinta tak pernah busuk.