Senin, 05 September 2011

Selamat Ulang Tahun

Sekitar tiga tahun yang lalu pertama kali aku mendengar lagu The Click Five yang judulnya 'Happy Birthday'. Waktu itu aku berharap dapat menyanyikan lagu itu saat umurmu tepat 21 tahun. Sekarang aku dapat menyanyikannya, tapi tidak bersamamu. Iya, aku menyanyikan lagu ini sendiri di dalam kamar sebuah toko kayu di salah satu Kabupaten di Jawa Barat. Sebenarnya bisa dibilang bukan kamar, tapi sebuah gudang yang disulap menjadi kamar. Jangan dipikirkan, aku sedang tidak membicarakan diriku.

Hey, kamu. Sebuah nama yang tegap berdiri di dalam ruang ingatku. Tepat pada tanggal sekarang di 21 tahun lalu kau hadir ke dunia. Tentu saja waktu itu kau belum menangis untukku. Hingga saat ini pun mungkin kau masih belum pernah menangis untukku. Kuharap itu memang itu tidak pernah terjadi. Ah, itu bukan sebuah masalah bagiku. Yang pasti saat teriakan pertamamu ada banyak senyum bahagia dari orang-orang yang sangat menantikan kehadiranmu, terutama seorang wanita yang dari tubuhnya kau bermetamorfosis menjadi seorang manusia. Ibumu.

Sekarang, usiamu tepat 21 tahun. Usia dimana kau memasuki fase dewasa dan usia dimana seharusnya kau mengetahui betapa tidak enaknya menjadi orang dewasa. Menjadi dewasa berarti menambah hal-hal yang harus kau pikirkan dan menjadi pertimbanganmu sebelum kau menentukan kemana arah akan kau langkahkan kakimu. Bukan seperti beberapa tahun lalu, yang menjadi masalah dalam hidupmu hanya tentang hati dan bagaimana caranya bisa bebas bermain dengan temanmu dan belum hadir kata beban dalam ruang ingatmu. Sekarang kau dituntut untuk tidak hanya memikirkan keinginanmu sendiri dalam mengambil sebuah langkah. Tapi kau juga harus melibatkan orang-orang disekitarmu. Paling tidak keluarga inti ikut menjadi pertimbangan sebelum kau memutuskan mana satu dari banyak mimpimu untuk kau wujudkan.

Oh iya, bagaimana kabarmu? Kau sehat, bukan? Kesehatanmu selalu menjadi hal utama yang sering kupinta kepada Tuhan setelah kebahagiannmu. Iya, aku mendoakan kebahagiaanmu. Mungkin salahku juga jika aku hanya mendoakan kamu bahagia. Aku lupa meminta kau bahagia bersamaku. Tapi terlalu egois jika aku meminta begitu.

Jujur saja, sebenarnya saat ini aku sedang bertarung hebat dengan perasaanku sendiri yang begitu mendesakku untuk menghubungimu tanpa mempedulikan lagi dia yang seharusnya dan kau tunggu untuk mengucapkan kalimat yang seharusnya dari tadi kuucapkan kepadamu, kalimat yang begitu membuatku begitu lelah melawan perasaan yang biasanya mengendalikan arah hidupku. Kau pasti tahu bagaimana beratnya melawan sesuatu yang berkuasa. Itu belum seberapa, aku juga harus menyingkirkan batu besar yang biasa disebut tanda tanya apa aku masih relevan jika mengucapkan selamat kepadamu? Ada dua kemungkinan yang membuatku ragu mengucapkannya.
Pertama, aku takut kau sedih saat aku mengucapkan kalimat tersebut. Aku tidak ingin merusak semua doaku sendiri dengan membuatmu bersedih.
Yang kedua, aku tidak ingin kau mengasihaniku karena aku masih saja menempatkanmu ditempat paling tinggi dalam ruang ingatku. Aku berjuang untukmu, bukan mengemis kepadamu.

Tapi sudahlah, biarkan saja aku mengucapkan yang saat ini paling ingin kau dengar diatas media elektronik yang sebenarnya tidak pernah mampu mewakili sebuah kehadiran. Ucapan selamat ulang tahun doa-doa baik yang sama dengan yang dilontarkan oleh orang sekitarmu yang sangat menyayangimu. Jika nanti aku mempunyai keberanian menyingkirkan batu tadi kemudian mengucapkan selamat ulang tahun kepadamu melalui gelombang suara, aku tidak akan menyertakan doa didalamnya, karena doa untuk kesehatan, kebahagiaan, dan kesuksesanmu tidak hanya kuhadirkan pada tanggal lahirmu.

Selamat ulang tahun.

Rabu, 25 Mei 2011

Antara Memberi dan Menunjukkan

Semalam, aku bermimpi mendengar suara ibuku. Ia menceritakan kisah yang sering diceritakannya padaku saat masih kanak-kanak dulu. Aku tak menyadari bahwa kisah itu mengenai diriku.

"Seorang anak laki-laki dan perempuan jatuh cinta setengah mati," suara ibuku berkata. "Mereka memutuskan bertunangan. Dan ketika itulah kedua calon mempelai saling bertukar hadiah.

Anak laki-laki itu sangat miskin--miliknya yang paling berharga hanya arloji yang diwarisinya dari kakeknya. Ketika ia membayangkan rambut kekasihnya yang indah, ia memutuskan menjual arloji itu untuk membelikan jepit rambut perak bagi kekasihnya.

Anak perempuan itu juga tidak mempunyai uang untuk membeli hadiah bagi kekasihnya. Ia pergi ke toko milik pedagang paling sukses di kota itu, dan menjual rambutnya. Dengan uang yang di dapat, ia membelikan rantai jam emas bagi kekasihnya.

Ketika bertemu di pesta pertunangan, si anak perempuan memberikan rantai jam untuk arloji yang telah dijual kekasihnya, dan si anak laki-laki memberinya jepitan untuk rambut yang tidak lagi dimiliki kekasihnya.

Karena saya bukan seorang Notulen, silakan tarik kesimpulan masing-masing. :)

Minggu, 13 Maret 2011

Di Dalam Tubuh Ini (pernah) Hidup Seorang Manusia.

Pintu bagiku sudah tertutup sejak kulihat punggung mereka di atas sebuah motor, menghilang dari pandangan saat berbelok di sebuah tikungan. Dan aku sebisa mungkin menahan sesak yg seketika mencekikku, memaksa diriku untuk tersenyum menerima. Kali ini, bukan dia yg memeluk pinggangku.


Dari tempat persembunyianku, aku setengah mati melawan perasaan asing yg melanda; Sebuah kesadaran baru menohok dadaku dengan kejam. Tak ada lagi kita. Hanya ada aku, aku dan kalian. Gelombang kesadaran itu seolah ingin membunuhku.

Lima tahun dua bulan. Kira-kira, berapa kardus barang kenangan yg bisa dihasilkan dalam waktu lima tahun dua bulan?
Kumpulan potongan karcis bioskop, tiket konser, karcis kereta, surat cinta, sms, boneka, bungkus coklat, Mawar kering yang yang diselipkan di antara lembaran buku, t-shirt pasangan yg kesepian karena pasangannya ada dalam lemarinya, Dan Scrapbook berisi foto-foto selama lima tahun dua bulan.

"Kini kita berada di jalur yang berlawanan arah, kita sudah menginginkan hal yg berbeda, kita tidak bisa bersama lagi."
Susah payah kutanamkan konsep itu di kepalaku agar setidaknya aku bisa menerima keputusannya. Kepalaku bisa menerima, tapi tidak hatiku. Kini aku berdiri di hadapan api yg siap melalap apapun yg ia sentuh. Bunyi perciknya menghajar kayu dan plastik terdengar berdesis, Kadang warna merahnya berpendar biru saat menyentuh senyawa tertentu. Di kanan kiriku, kardus berisi benda-benda kenangan.

Aku siap melepaskan semuanya. Aku siap melempar semua ke dalam api. Potongan-potongan tiket ini, foto-foto ini, dan bahkan, ingatan ini. Satu demi satu benda kenangan itu habis dilalap api, semua berubah jadi abu.



Tapi Tuhan, bagaimana membakar ingatan yg berada di dalam sini, dan sini? Tanyaku sambil menunjuk kepala dan hatiku.

Kemudian, Bayangan memeluk pinggang diatas motor itu kembali menguji kesabaranku. Gambar itu menari seolah ingin mengejekku. Aku, yang ditinggalkan, yang tidak diperkenankan lagi masuk pintu hatinya. Seseorang menetap disana, mengunci pintunya dari dalam. Seketika, api semakin menyebar, berkobar-kobar di kepalaku.

Tetapi, Aku takkan menyebut cintaku padanya sebagai sesuatu yg busuk. Jadi aku tidak akan menggunakan peribahasa 'sebaik-baiknya menyembunyikan bangkai akan tercium juga'. Cinta tak pernah busuk. Walau lahir dari cinta yang lain, cinta tak pernah busuk.

Senin, 10 Januari 2011

Surat Yang Tak Pernah Sampai


Suratmu itu tidak akan pernah terkirim, karena sebenarnya kamu hanya ingin berbicara pada dirimu sendiri. Kamu ingin berdiskusi dengan angin, dengan wangi sebelas tangkai sedap malam yang kamu beli dari tukang bunga berwajah memelas, dengan nyamuk-nyamuk yang cari makan, dengan malam, dengan detik jam… tentang dia.
Dia, yang tidak pernah kamu mengerti. Dia, racun yang membunuhmu perlahan. Dia, yang kamu reka dan kamu cipta.
Sebelah darimu menginginkan agar dia datang, membencimu hingga muak dia mendekati gila, menertawakan segala kebodohannya, kekhilafannya untuk sampai jatuh hati padamu, menyesalkan magis yang hadir naluriah setiap kali kalian berjumpa. Akan kamu kirimkan lagi tiket bioskop, bon restoran, semua tulisannya--dari mulai nota sebaris sampai doa berbait-bait. Dan beceklah pipinya karena geli, karena asap dan abu dari benda-benda yang ia hanguskan—bukti-bukti bahwa kalian pernah saling tergila-gila—berterbangan masuk ke matanya. Semoga ia pergi dan tak pernah menoleh lagi. Hidupmu, hidupnya, pasti akan lebih mudah.
Tapi, sebelah dari kamu menginginkan agar dia datang, menjemputmu, mengamini kalian, dan untuk kesekian kali, jatuh hati lagi, segila-gilanya, sampai batas gila dan waras pupus dalam kesadaran murni akan Cinta. Kemudian mendamparkan dirilah kalian di sebuah alam tak dikenal untuk membaca ulang semua kalimat, mengenang setiap inci perjalanan, perjuangan, dan ketabahan hati. Betapa sebelah darimu percaya bahwa setetes air mata pun akan terhitung, tak ada yang mengalir mubazir, segalanya pasti bermuara di satu samudra tak terbatas, lautan merdeka yang bersanding sejajar dengan cakrawala.. dan itulah tujuan kalian.
Kalau saja hidup tidak ber-evolusi, kalau saja sebuah momen dapat selamanya menjadi fosil tanpa terganggu, kalau saja kekuatan kosmik mampu stagnan di satu titik, maka… tanpa ragu kamu akan memilih satu detik bersamanya untuk diabadikan. Cukup satu.
Satu detik yang segenap keberadaannya di persembahkan untuk bersamamu, dan bukan dengan ribuan hal lain yang menanti untuk dilirik pada detik berikutnya. Betapa kamu rela membatu untuk itu.
Tapi, hidup ini cair. Semesta ini bergerak. Realitas berubah. Seluruh simpul dari kesadaran kita berkembang mekar. Hidup akan mengikis apa saja yang memilih diam, memaksa kita untuk mengikuti arus agungnya yang jujur tetapi penuh rahasia, kamu, tidak terkecuali
Kamu takut.
Kamu takut karena ingin jujur. Dan kejujuran menyudutkanmu untuk mengakui kamu mulai ragu.
Dialah bagian terbesar dalam hidupmu, tapi karena cemas. Kata ‘sejarah’ mulai menggantung hati-hati di atas sana. Sejarah kalian. Konsep itu menakutkan sekali.
Sejarah memiliki tampuk istimewa dalam hidup manusia, tapi tidak lagi melekat utuh pada realitas. Sejenak seperti awan yang tampak padat berisi tapi ketika disentuh menjadi embun yang rapuh.
Skenario perjalanan kalian mengharuskanmu untuk sering menyejarahkannya, merekamnya, lalu memainkannya ulang di kepalamu sebagai Sang Kekasih Impian, Sang tujuan, Sang Inspirasi bagi segala mahakarya yang termunthakan kedunia. Sementara dalam setiap detik yang berjalan, kalian seperti musafir yang tersesat di padang. Berjalan dengan kompas masing-masing, tanpa ada usaha saling mencocokkan. Sesekali kalian bertemu, berusaha saling toleransi atas nama Cinta dan Perjuangan yang Tidak Boleh Sia-sia. Kamu sudah membayar mahal untuk perjalanan ini. Kamu pertaruhkan segalanya demi apa yang kamu rasa benar. Dan mencintainya  menjadi kebenaran tertinggimu.
Lama baru kamu menyadari bahwa Pengalaman merupakan bagian tak terpisahkan dari hubungan yang diikat oleh seutas perasaan mutual.
Lama bagi kamu untuk berani menoleh ke belakang, menghitung, berapa banyakkah pengalaman nyata yang kalian alami bersama?
Sebuah hubungan yang dibiarkan tumbuh tanpa keteraturan akan menjadi hantu yang tidak menjejak bumi, dan alasan cinta yang tadinya diagungkan bisa berubah menjadi utang moral, investasi waktu, perasaan, serta perdagangan kalkulatif antara dua pihak.
Cinta butuh dipelihara. Bahwa di dalam sepak-terjangnya yang serba mengejutkan, cinta ternyata masih butuh mekanisme agar mampu bertahan.
Cinta jangan selalu ditempatkan sebagai iming-iming besar, atau seperti ranjau yang tahu-tahu meledakkanmu—entah kapan dan kenapa. Cinta yang sudah dipilih sebaiknya diikutkan di setiap langkah kaki, merekatkan jemari, dan berjalanlah kalian bergandengan… karena cinta adalah mengalami.
Cinta tidak hanya pikiran dan kenangan. Lebih besar, cinta adalah dia dan kamu. Interaksi. Perkembangan dua manusia yang terpantau agar tetap harmonis. Karena cinta pun hidup dan bukan cuma maskot untuk di sembah sujud.
Kamu ingin berhenti memencet tombol tunda. Kamu ingin berhenti menyumbat denyut alami denyut alami hidup dan membiarkannya bergulir tanpa beban.
Dan kamu tahu, itulah yang tidak bisa dia berikan kini.
Hingga akhirnya…
Di meja itu, kamu di kelilingi tulisan tangannya yang tersisa (kamu baru sadar betapa tidak adilnya ini semua, kenapa harus kamu yang kebagian tugas dokumentasi dan arsip, sehingga cuma kamulah yang tersiksa?).
Jangan heran kalau kamu menangis sejadi-jadinya.
Dia, yang tidak pernah menyimpan gambar rupamu, pasti tidak tahu apa rasanya menatap lekat-lekat satu sosok, membayangkan rasa sentuh dari helai rambut yang polos tanpa busa pengeras, rasa hangat uap tubuh yang kamu hafal betul temperaturnya.
Dan kamu hanya bisa berbagi kesedihan itu, ketidakrelaan itu, kelemahan itu, dengan wangi bunga yang melangu, dengan nyamuk-nyamuk yang putus asa, dengan malam yang pasrah di gusur pagi, dengan detik jam dinding yang gagu karena habis daya.
Sampai pada halaman kedua suratmu, kamu yakin dia akan paham, atau setidaknya setengah memahami, betapa sulitnya perpisahan yang dilakukan sendirian.
Tidak ada sepasang mata lain yang mampu meyakinkanmu bahwa ini memang sudah usai. Tidak ada kata, peluk, cium, atau langkah kaki beranjak pergi, yang mampu menjadi penanda dramatis bahwa sebuah akhir telah diputuskan bersama.
Atau sebaliknya, tidak ada sergahan yang membuatmu berubah pikiran, tidak ada kata ‘jangan’ yang mungkin, apabila di ucapkan dan ditindakkan dengan tepat, akan membuatmu menghambur kembali dan tak mau pergi lagi.
Kamu pun tersadar, itulah perpisahan paling sepi yang pernah kamu alami.
Ketika surat itu tiba di titiknya yang terakhir, masih akan nada sejumput kamu yang bertengger tak mau pergi dari perbatasan usai dan tidak usai. Bagian dari dirimu yang merasa paling bertanggung jawab atas semua yang sudah kalian bayarkan bersama demi mengalami perjalanan hati sedahsyat itu. Dirimu yang mini, tapi keras kepala, memilih untuk tidak ikut pergi bersama yang lain, menetap untuk terus menemani sejarah. Dan karena waktu semakin larut, tenagamu pun sudah menyurut, maka kamu akan membiarkan si kecil itu bertahan semaunya.
Mungkin, suatu saat, apabila sekelumit dirimu itu mulai kesepian dan bosan, ia akan berteriak-teriak ingin pulang. Dan kamu akan menjemputnya, lalu membiarkan sejarah membentengi dirinya dengan tembok tebal yang tak lagi bisa ditembus. Atau mungkin, ketika sebuah keajaiban mampu menguak kekeruhan ini, jadilah ia semacam mercusuar, kompas, Bintang Selatan… yang menunjukkan jalan pulang bagi hatimu untuk, akhirnya, menemuiku.
Aku, yang merasakan apa yang kau rasakan. Yang mendamba untuk mengalami. Aku, yang telah menuliskan surat-surat cinta padamu. Surat-surat yang tak pernah sampai.