Sekarang pukul 01.30 pagi di tempatmu.
Kulit wajahmu pasti sedang terlipat diantara kerutan sarung bantal. Rambutmu yang tebal menumpuk disisi kanan, karena engkau tidur terlungkup dengan muka menghadap kiri. Tanganmu selalu tampak menggapai, apakah itu yang selalu kau cari dibawah bantal?
Aku selalu ingin mencuri waktumu. Menyita perhatianmu. Semata-mata supaya aku bisa terpilin masuk kedalam lipatan seprai tempat tubuhmu sekarang terbaring.
Sudah hampir empat tahun aku begini. Empat puluh bulan. Kalikan tiga puluh. Kalikan dua puluh empat. Kalikan enam puluh. Kalikan lagi enam puluh. Kalikan lagi enam puluh. Niscaya akan kau dapatkan angka ini: 6.220.800.000
Itulah banyaknya milisekon sejak pertama aku jatuh cinta kepadamu. Angka itu bisa lebih fantastis kalau ditarik sampai skala nano. Silakan cek. Dan aku berani jamin engkau masih ada di situ. Di tiap inti detik, dan di dalamnya lagi, dan lagi, dan lagi...
Penunjuk waktu ku tak perlu mahal-mahal. Memandangmu memberikanku sensasi keabadian sekaligus mortalitas. Rolex tak mampu berikan itu.
Mengertilah, tulisan ini bukan bertujuan untuk merayu. Kejujuran sudah seperti riasan wajah yang menor, tak terbayang menambahinya lagi dengan rayuan. Angka miliaran tadi adalah fakta matematis. Empiris. Siapa bilang cinta tak bisa logis. Cinta mampu merambah dimensi angka dan rasa sekaligus.
Sekarang pukul 02.30 di tempatmu. Tak terasa sudah satu jam aku disini. Menyumbangkan lagi 216.000 milisekon ke dalam rekening waktuku. Terima kasih. Aku semakin kaya saja. Andaikan bisa kutambahkan satuan rupiah, atau lebih baik lagi, dolar, dibelakangnya. Tapi engkau tak ternilai. Engkau adalah pangkal, ujung, dan segalanya yang di tengah-tengah. Sensasi Ilahi. Tidak dolar, tak juga yen, mampu menyajikannya.
Aku tak pernah tahu keadaan tempat tidurmu. Bukan aku yang sering ada disitu. Entah siapa. Mungkin cuma guling atau bantal-bantal ekstra. Terkadang benda-benda mati justru mendapatkan apa yang paling kita inginkan, dan tak sanggup kita bersaing dengannya. Aku iri pada baju tidurmu, handukmu, apalagi pada guling... sudah. Stop. Aku tak sanggup melanjutkan. membayangkan saja ngeri. Apa rasanya dipeluk dan di dekap tanpa pretensi? Itulah surga. Dan manusia perlu beribadah jungkir-balik untuk mendapatkannya? Hidup memang bagaikan mengitari gunung Sinai. Tak diizinkannya kita untuk berjalan lurus-lurus saja demi mencapai tanah Perjanjian.
Kini, izinkan aku tidur. Menyusulmu ke alam abstrak di mana segalanya bisa bertemu. Pastikan kau ada di sana, tidak terbangun karena ingin pipis, atau mimpi buruk. Tunggu aku.
Begitu banyak yang ingin aku bicarakan. Mari kita piknik, mandi susu, potong tumpeng, main pasir, adu jangkrik, balap karung, melipat kertas, naik getek, tarik tambang.. tak ada yang tidak bisa kita lakukan, bukan?
Tapi kalau boleh memilih satu: aku ingin mimpi tidur di sebelahmu. Ada tanganku di bawah bantal, tempat jemarimu menggapai-gapai.
Tidurku meringkuk ke sebelah kanan sehingga wajah kita berhadapan. Dan ketika matamu terbuka nanti, ada aku disana. Rambutku yang berdiri liar dan wajahmu yang tercetak kerut seprai.
Tiada yang lebih indah dari cinta dua orang di pagi hari. Dengan muka berkilap, bau keringat, gigi bermentega, dan mulut asam... mereka masih berani tersenyum dan saling menyapa 'selamat pagi'.
utk dewi lestari : ko hebat !
BalasHapus