Minggu, 17 Oktober 2010

kisah seorang tua afgan pada masa perang


Kisah seorang tua Afgan pada masa perang.
Setelah berabad-abad mengalami kekacauan dan pemerintahan yang buruk, rakyat sebuah kota yang letaknya jauh diatas salah satu gunung di daerah gurun provinsi Herat mulai putus asa. Mereka tidak bisa menyingkirkan monarki yang ada, tapi juga tidak tahan lagi menghadapi generasi kepemimpinan yang arogan dan egois. Mereka pun memanggil Loya Jirga, atau dewan local yang terdiri dari orang-orang bijak.
Loya Jirga memutuskan untuk mengangkat seorang raja setiap empat tahun, dan raja ini harus memiliki kekuasaan penuh. Raja boleh menaikkan pajak, memerintahkan agar rakyat patuh sepenuhnya, tidur dengan wanita berbeda setiap malam, dan makan-minum sampai puas. Raja boleh memakai pakaian terbaik dan mengendarai kuda terbagus. Singkatnya, apapun titah raja, betapapun absurdnya, akan dipenuhi, dan tak seorang pun akan bertanya apakah titah itu logis atau adil.
Namun, setelah masa empat tahun pemerintahan, raja harus turun tahta dan meninggalkan kota itu dengan hanya membawa keluarga serta pakaian di badan. Semua orang tahu bahwa itu akan berujung pada kematian setelah tiga atau empat hari karena tidak ada bahan makanan dan minuman di gurun luas yang luar biasa dingin pada musim dingin dan seperti neraka pada musim panas.
Orang-orang bijak loya jirga berasumsi tak seorang pun mau mengambil resiko untuk jadi raja sehinggan mereka bisa kembali ke system lama, yaitu pemilihan raja secara demokratis. Mereka mengumumkan keputusan tersebut dan tampuk kepemimpinan pun kosong. Awalnya, beberapa orang mengajukan diri, pria tua berpenyakit kanker menerima tantangan tersebut dan meninggal dengan bahagia saat masih memerintah. Ia digantikan seorang pria gila yang meninggalkan tahta empat bulan kemudian (karena salah mengerti tentang syarat-syaratnya). Pria itupun hilang di gurun. Lalu mulai berkembang desas-desus bahwa tahta itu terkutuk sehingga tak seorang pun berani mengajukan diri. Kota tersebut tidak memilikki pemimpin dan situasi mulai membingungkan sehingga para penduduknya sadar mereka perlu melupakan tradisi monarki dan bersiap-siap untuk merubah cara mereka. Loya Jirga senang karena para penduduk membuat keputusan bijaksana. Mereka tidak memaksa penduduk, mereka hanya menyingkirkan orang-orang yang menginginkan kekuasaan apapun konsekuensinya. Kemudian seorang pemuda, yang sudah menikah dengan tiga anak, mengajukan diri.
“Aku menerima tawaran itu,” kata si pemuda.
Para orang bijak berusaha menjelaskan resikonya. Mereka mengingatkan bahwa ia punya keluarga serta menjelaskan bahwa keputusan mereka hanyalah cara supaya tidak ada pemimpin yang kejam dan asal-asalan. Namun si pemuda tetap bertekad kuat, dan karena mereka tidak mungkin membatalkan keputusan sendiri, Loya Jirga tidak punya pilihan selain menunggu empat tahun sampai rencana pemilu bisa dijalankan.
Pemuda itu beserta keluarganya ternyata pemimpin yang baik. Mereka memerintah dengan adil, membagikan kekayaan dengan rata, menurunkan harga bahan pangan, menyelenggarakan berbagai pesta rakyat untuk merayakan perubahan musim, serta mendorong rakyat untuk bermusik dan membuat kerajinan. Namun setiap malam, karavan besar yang ditarik banyak kuda meninggalkan kota tersebut, dibelakangnya berderet gerobak-gerobak berat bertutup terpal sehingga tidak ada yang tahu apa isinya. Gerobak-gerobak ini tidak pernah kembali.
Awalnya, para orang bijak dari Loya Jirga mengira sang raja pasti memindahkan harta karun dari kota, namun mereka kembali tenang karena pemuda itu hampir tidak pernah keluar dari tembok kota; kalaupun ia mencoba memanjat gunung terdekat, ia pasti sadar kuda-kudanya pasti sudah mati sebelum sampai tujuan. Lagi pula, kota itu terletak di tempat paling terpencil di planet ini. Mereka yakin begitu pemerintahan raja berakhir, mereka bisa mendatangi tempat kuda-kudanya mati kelelahan dan si penunggang mati kehausan, dan akan menemukan semua harta karun itu.
Mereka tidak khawatir lagi dan menunggu dengan sabar.
Pada akhir masa empat tahun, si pemuda turun tahta dan meninggalkan kota. Masyarakat memprotes; lagi pula, sudah cukup lama mereka di perintah oleh raja yang bijaksana dan adil!
Namun keputusan Loya Jirga harus dihormati. Pemuda itu menghampiri istri dan anaknya, lalu meminta mereka ikut bersamanya.
“Aku akan ikut,” kata istrinya, “tapi setidaknya biarkan anak-anak kita tinggal. Supaya mereka tetap hidup untuk menceritakan kisah hidupmu.”
“Percayalah padaku,” kata suaminya.
Hukum suku sangat ketat dan sang istri tidak punya pilihan selain mematuhi suaminya. Mereka mengendarai kuda ke gerbang kota dan mengucapkan selamat tinggal pada semua teman yang mereka kenal selama empat tahun pemerintahan. Loya Jirga senang. Mungkin mereka punya banyak musuh, tapi takdir adalah takdir. Tak seorang pun mau mengambil resiko memerintah kota, dan tradisi demokrasi akhirnya kembali digunakan. Sesegera mungkin, mereka akan menggali kekayaan yang di kubur di gurun, kurang dari tiga hari perjalanan dari tempat itu.
Keluarga tersebut menuju lembah kematian tanpa suara. Sang istri tidak berani berkata apa-apa, anak-anak mereka tidak mengerti apa yang terjadi, sementara pemuda itu sibuk dengan pikirannya sendiri. Mereka menaiki bukit, menempuh perjalanan satu hari penuh menyeberangi gurun luas, lalu tidur di puncak bukit yang lain.
Sang istri terbangun subuh-subuh, ingin menikmati hari-hari terakhir hidupnya dengan melihat pemandangan pegunungan yang sangat ia cintai. Ia naik ke puncak paling tinggi dan menatap ke bawah, ingin melihat hamparan pasir yang membentang luas, tapi ia terkejut luar biasa.

Selama empat tahun, rombongan karavan yang meninggalkan kota setiap malam bukan membawa permata atau koin emas. Mereka membawa batu bata, biji-bijian, kayu, genteng, rempah-rempah, ternak, serta alat-alat tradisional yang dugunakan untuk mengebor tanah untuk mencari sumber air.
Dihadapannya terbaentang kota yang jauh yang jauh lebih modern serta jauh lebih indah dari kota yang lama, dan semuanya sempurna.
“Ini kerajaanmu,” kata si pemuda, yang baru bangun dan bergabung dengan istrinya. “Sejak mendengar dekrit tersebut, aku tahu tak ada gunanya berusaha mengubah pemerintahan yang korup dan rusak dalam empat tahun. Namun aku meyakini satu hal, kita bisa memulai semuanya dari awal.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar